Laman

Minggu, 17 April 2016

Perlu Adanya Political Will



Khalifah Umar bn Khaththab yang dikenal sebagai sosok yang tegas, tiba-tiba menangis dan merasa sangat terpukul. Pasalnya berdasarkan informasi dari bawahannya, seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang, akibat dari jalan (di Irak) yang dilewati rusak dan berlubang.

Melihat kesedihan khalifahnya, salah seorang bawahannya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?”

Wajah Umar pun berubah merah dan berkata, “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”

Dalam redaksi lain, Umar bin Khattab berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’”

Begitulah Umar. Dia merasa sedih, karena seekor keledai mati jatuh ke jurang, lantaran jalan yang dilaluinya rusak parah. Perasaan sedih muncul, karena tidak dapat melindungi nyawa keledai itu. Hewan saja diperhatikan hingga sedemikian rupa.

Umar merasa bertanggung jawab atas peristiwa ini, dirinya terpanggil oleh sebuah peringatan tersirat ini. Ini baru keledai yang menjadi korban, bagaimana selanjutnya? Siapa lagi yang akan menjadi korban, jika jalan berlubang tidak kunjung diperbaiki?

Adanya perasaan sedih yang berangkat dari perasaan bertanggung jawab ini akan memunculkan semangat dan political will. Semangat agar hal ini tidak terulang kembali. Semangat untuk memperbaiki agar tidak ada jatuh korban lagi.

Seperti itulah seorang pemimpin. Nyawa manusia, terlebih lagi nyawa dari rakyatnya sudah seharusnya menjadi perhatian khusus baginya.

Membaca berita tentang korban tewas dari tenggelamnya sebuah kapal di  sekitar Pulau Carey, Selangor, Malaysia, hendaknya menjadi perhatian seorang pemimpin. Kapal tenggelam yang ditumpangi ini membawa para penumpang TKI illegal. Diduga kapal tenggelam karena kelebihan muatan.

Banyaknya korban tanah longsor, akibat penggundulan hutan, hendaknya juga menjadi perhatian seorang pemimpin.

Jatuhnya korban akibat banjir, karena disebabkan tata ruang daerah resapan air dirubah, juga perlu menjadi perhatian pemimpin.

Warga saling bacok, karena memperebutkan lahan parkir. Terjadinya peristiwa pencurian kendaraan bermotor yang berujung pada jatuhnya, korban, pun seharusnya tidak luput dari perhatian pemimpin.

Berbagai bencana yang terjadi, juga perlu mendapat perhatian pemimpin. Terlebih lagi bila menelan korban.

Perasaan sedih, merasa bersalah dan merasa bertanggung jawab harus muncul ketika mengetahui adanya korban yang berjatuhan. Karena inilah tenaga yang mendorong agar seorang pemimpin dapat mencegah terjadinya korban-korban berjatuhan selanjutnya.

Para penebang liar harus ditindak tegas dan diberi sanksi hukum seberat-beratnya, sebab bila tidak, tanah longsor akan terjadi lagi dan korban-korban akan berjatuhan kembali.

Tata ruang kota harus diremajakan kembali. Daerah-daerah yang sudah ditetapkan menjadi daerah resapan air tidak boleh dilanggar dan tidak boleh diubah menjadi bangunan. Pelanggar tata ruang kota perlu ditindak tegas dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Karena bila membandel, akan kembali jatuh korban.

Membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, perlu digalakkan. Sehingga tidak perlu ada nya korban akibat perebutan lahan parkir. Tidak perlu lagi adanya kasus-kasus pencurian dan perampokan. Tidak perlu lagi orang desa pergi ke kota, apalagi ke luar negeri, karena di desanya tersedia luas lapangan pekerjaan.

Sekali lagi perasaan sedih, merasa bersalah dan merasa bertanggung jawab atas jatuhnya korban itu perlu. Tidak bisa dianggap remeh. “Ah itu khan cuma satu orang yang tewas.” Sekali lagi tidak bisa.

Seorang pemimpin sudah sepatutnya mempunyai political will terhadap nyawa rakyatnya. Mempunyai keinginan dan semangat yang tinggi untuk menjaga kehidupan dan nyawa rakyatnya.

Karena memelihara satu kehidupan manusia, sama saja dengan memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Sedangkan mengabaikan nyawa seorang manusia, sama saja dengan mengabaikan nyawa seluruh manusia.

Allah swt berfirman, “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS Al-Maidah: 32) 

Catatan pesan untuk para calon pemimpin 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar