Laman

Kamis, 05 Juni 2014

Kemampuan Boleh Pas-pasan






Ajang unjuk kebolehan seni tarik suara di Indonesia bukan hal yang baru. Bahkan dulu, berbagai televisi swasta seolah berlomba menyelenggarakan acara ini.

Bila para pembaca penggemar musik, mungkin bisa ikut menikmati alunan suara peserta yang berjalan serasi dengan musiknya. Kita akan terkagum-kagum dengan ketinggian suara sang penyanyi. Kemampuannya dalam berfalseto membuat kita begitu menikmati. Belum lagi kecanggihan penyanyi yang pandai merubah nyanyian hingga berbeda dari penyanyi aslinya.

Saya ingat dalam salah satu ajang, kebetulan salah seorang juri yang notabene juga seorang penyanyi, nyanyiannya dibawakan oleh salah seorang peserta. Dia begitu terpesona melihat penampilan si peserta. Karena dia berhasil merubah nyanyian sedemikian rupa hingga beda banget dengan penyanyi aslinya.

Ketika giliran sang juri memberi komentar, dia berkata, “Gue gak nyangka, lagu gue bisa dinyanyikan dengan seperti ini. Nanti kalo gue bawain lagu ini, boleh yah, gue bawainnya seperti ini?”

Luar biasa memang. Penyanyi aslinya karena terpesona, sampai tidak menyangka lagunya bisa dinyanyikan seperti itu. Bahkan bukan itu saja, dia sampai berniat ingin menyanyikannya dengan model yang dibawakan oleh peserta.

Dalam ajang yang lain, saya juga ingat, salah seorang peserta menyanyikan lagu Bring me to life-nya Evanescense. Lagu aslinya memang enak, tapi ternyata tidak kalah enak ketika dinyanyikan oleh salah seorang peserta. Demikian pula backing vokalnya; yang tak lain juga salah seorang peserta. Gaya menyanyikan rap yang dibawakannya begitu mengasyikkan.

Mereka yang lolos seleksi ini memang patut diacungkan jempol. Tiap peserta mempunyai karekter suaranya masing-masing. Mempunyai kelebihan masing-masing serta mempunyai kemampuan menyanyikan dengan genre musiknya tersendiri.

Tapi nampaknya acungan jempol tidak cukup diberikan kepada mereka yang lolos seleksi. Mereka yang tidak lolos seleksi pun perlu kita acungkan jempol.

Kenapa? Kalo teman-teman pernah melihat tayangan menjelang lolos seleksi, kita bisa menyaksikan berbagai kemampuan bernyanyi calon peserta. Mereka yang sudah terbiasa menyanyi, bahkan juga ada yang berprofesi sebagai penyanyi, tentu suaranya enak untuk didengar. Tapi bagi mereka yang tidak terbiasa menyanyi, tidak pernah melatih olah vokalnya, sebelumnya tidak pernah mengikuti lomba tarik suara; walau  sekalipun, tentu –maaf bukan bermaksud menghina- suaranya....ya begitu deh.

Para calon peserta yang suaranya...ya begitu deh itu, tentu tidak lolos seleksi. Tapi ada satu hal yang mungkin patut kita renungi bersama. Para calon peserta yang tidak lolos seleksi ini begitu berani untuk mendaftarkan diri. Mereka begitu Pe De dan siap bersaing dengan mereka yang sudah  berpengalaman dan malang melintang di dunia tarik suara.

Mereka tidak peduli dengan cibiran orang lain yang menilainya nekat mengikuti ajang ini. Mereka tidak mau ambil pusing dengan sindiran halus orang lain yang mengatakan bahwa mereka coba-coba meraih sukses.

Setiap orang memiliki kelebihan dan kemampuan masing-masing. Cuma terkadang dia merasa rendah diri dihadapan orang lain. Orang lain yang dinilainya memiliki kemampuan lebih darinya.

Bila sudah rendah diri seperti ini, hampir dipastikan dia tidak mau mengembangkan, melatih dan mengasah kemampuannya. Dia sudah mundur terlebih dahulu, ketika ditawarkan untuk mengikuti lomba tentang kemampuan atau bakat yang dimilikinya. Kalau mengikuti lomba saja sudah tidak mau, bagaimana sikap optimis bisa muncul?

Apa kemampuan, kelebihan dan bakat teman-teman? Jangan kalah dengan orang yang mempunyai kemampuan pas-pasan, tapi penuh semangat, percaya diri dan optimis.

sumber image: alhaidarjr.blogspot.com

Ini Bukan Akhir, Tapi Awal






Badai angin telah menerjang perahu di sebuah laut lepas dan akhirnya perahu itu tenggelam. Sebagian penumpangnya selamat. Diantaranya seorang pria yang dipermainkan ombak hingga dia terdampar di sebuah pulau antah berantah. Pria itu mulai sadar dari pingsannya, hembusan nafas mulai terdengar. Dia bersimpuh, memohon pertolongan pada Allah. Memohon agar Allah menyelamatkannya dari kondisi ini.

Hari-hari pun berlalu. Selama itu pula, pria tadi makan dari buah-buahan yang ada di pulau tersebut. Dia juga makan daging kelinci hasil buruannya. Untuk kebutuhan airnya, dia minum dari anak sungai yang ada di sana. Pria itu tidur dalam sebuah pondok kecil yang dibangunnya dari batang-batang pohon. Walau kecil, namun pondok itu cukup melindungi dirinya dari dinginnya malam dan teriknya siang.

Pada suatu hari, pria itu berkeliling di seputar pondoknya. Selama dalam waktu berkeliling itu, makanan yang diletakkannya di perapian kayu bakar, telah matang. Namun ketika dia kembali untuk melihat makanannya, semua yang ada di sekitar makanan itu telah terbakar, termasuk pondoknya.

Pria itu pun mulai berteriak, “Mengapa wahai Allah? Pondok saya telah terbakar. Tidak ada satu pun milik saya yang tersisa di dunia ini. Saya adalah orang terdampar di tempat ini. Sekarang, pondok tempat saya bernaung juga terbakar. Mengapa ya Allah, semua musibah ini datang kepada saya?!!”
(dikutip dari buku Hakadza Hadzamuu Al-Ya’sa karya Salwa Al-‘Adhidaan)

Bayangkan pria yang terdampar itu adalah diri Anda. Anda terdampar di pulau tanpa penghuni. Hidup Anda yang biasanya ramai dengan orang-orang sekitar, kini mendadak tanpa seorang teman pun.

Makan yang biasanya dengan berbagai macam, kini hanya ada buah-buahan dan sekali-kali daging kelinci. Anda biasanya tinggal di rumah permanen, walau mungkin ber-tipe RSS, tapi tentu lebih ‘normal’ dari rumah yang terbuat dari batang pohon saja.

Hidup seperti di atas saja mungkin akan memancing kita untuk mengucapkan, “Na’udzu billah min dzalik.”

Tapi ternyata pria itu tidak diuji sampai di situ. Pondok buatannya terbakar karena kekurang hati-hatiannya.

Bagaimana bila itu terjadi pada diri Anda? Sudah susah payah hidup dengan keterbatasan. Lalu rumah hasil karya Anda terbakar.

Mungkin Anda akan mengatakan, “Saya paling sengsara di dunia.”

Tapi kisah di atas tidak sampai di situ. Mari kita baca lanjutannya.


Pria itu tertidur karena terlalu sedih. Dia tidur dalam keadaan lapar. Namun pada pagi hari ada sesuatu yang mengejutkannya.

Ada sebuah kapal merapat pulau dan ingin menyelamatkan pria tadi.

Ketika sampai di atas kapal, pria itu bertanya kepada para penumpang kapal, “Bagaimana kalian dapat menemukan tempat ini?”

Mereka menjawab, “Kami melihat asap. Kami pun tahu bahwa di sana ada seseorang yang membutuhkan pertolongan.”      

Maha Suci Allah Yang Maha Mengetahui kondisi pria itu dan mengetahui tempat itu. Maha Suci Allah Yang Maha Mengatur segala urusan dan kita tidak mengetahui apa maksudnya.

Ketika pondokmu terbakar, ketahuilah bahwa Allah akan menyelamatkanmu. (dikutip dari buku Hakadza Hadzamuu Al-Ya’sa karya Salwa Al-‘Adhidaan)

Ketika kondisimu semakin terpuruk, semua jalan terasa buntu, merasa orang paling sengsara di dunia, yakinlah jalan keluar akan segera datang Insya Allah. Berprasangka baiklah pada Allah dan jangan sekali-kali putus asa dari rahmat Allah.

Di dalam Al-Quran Allah mengisyaratkan bahwa sesuatu yang dikira akhir, padahal itu awal dari sesuatu yang baru.

Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa Allah MENGHIDUPKAN  bumi setelah MATInya.” (QS Al-Hadid (57):17)

sumber image: www.apasih.com

Rabu, 04 Juni 2014

Terima Kasih Pak Kasduni






 
Detak jantung berdetak agak lebih cepat. Pikiran berputar-putar, “Kemana sih pak Kasduni, belum lewat juga?! Wah gawat, kalo supir taksi itu membawa paket buku milik kantor.”

Saya mulai berhitung, “Dalam satu paket itu ada seratus buku yang masing-masingnya seharga Rp 150 ribu. Berapa saya harus menggantinya?”

Sebelumnya dari penerbit di daerah Kebagusan, kami sepakat akan berjalan beriringan. Saya dengan motor dan pak Kasduni mengikuti dengan taksinya hingga sampai di kantor.

Menjelang berangkat, saya sempat menyimpan no contact pak Kasduni. Sempat pula berdialog tentang lokasi kantor saya. Pak Kasduni ternyata tahu polres yang dekat dengan kantor. Beliau juga tahu kampus terdekat dengan kantor.

Kami berangkat. Di tengah perjalanan dan ketika ingin berputar balik di daerah Ragunan, situasi lalu lintas macet. Terpaksa saya jalan terlebih dulu. Dengan motor, saya dapat meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Berhasil melewati mobil-mobil yang tertib berbaris, saya berputar balik menuju ke arah KP Rambutan.

Mampir sejenak menikmati es durian. Saya mulai mencari-cari no contact pak Kasduni. Usai mengetik huruf K, “Ya Allah…. mana nama Kasduni?”

Saya mencari di aksara J, karena mungkin terketik Jasduni. Di aksara J, hanya ada satu nama dan bukan dia. Ibu jari saya beralih mencari di huruf L, karena diduga saya mengetik Lasduni. Di sini nama Lasduni juga tidak tercantum.

“Waaah jangan-jangan tidak tersimpan nama pak Kasduni.” Saya pun melanjutkan kenikmatan yang tertunda. Es durian itu benar-benar ada duriannya. Serabut duriannya ikut bercampur dengan es.

Satu persatu taksi yang lewat diperhatikan, B 2384 …. Ada taksi sejenis tapi tidak dengan no polisi itu. Terus diperhatikan, tetap tidak terlihat moncong taksi dengan no polisi B 2384 ….

Akhirnya saya putuskan untuk jalan terlebih dahulu. Itu berarti tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Keputusan ini diambil, karena ada mobil yang saya kenal  dan tadi datang ke penerbit, hampir bersamaan dengan kedatangan saya, telah lewat. Sehingga kemungkinan taksi pak Kasduni juga telah lewat. Pertimbangan kedua karena pak Kasduni sudah tahu tempat-tempat yang terdekat dengan kantor.

Walau agak tenang, karena dua pertimbangan di atas, tetap saja mata ini terus mengawasi taksi-taksi yang ada di sekeliling. Rencana B pun disusun, kalau-kalau nantinya tidak bertemu dengan pak Kasduni.

Sesampai di polres yang dekat dengan kantor, tidak saya temukan taksi pak Kasduni. Saya segera melaksanakan rencana B. Taksi sejenis saya hentikan. Saya cerita pada supirnya dan bertanya mungkin punya no contact pak Kasduni. Ternyata dia tidak tahu. Dia hanya menyerahkan sebuah kartu nama yang berisi no contact pool pusat taksi itu.

Di pool pusat; menurut Aryo, operator yang menerima telp saya, tidak ada nomer polisi seperti yang saya sebutkan. Yang ada nomer lain dan cuma mirip. Tapi Aryo berjanji akan mencari tahu lagi.

Telpon saya matikan. Beberapa detik kemudian Aryo menghubungi saya. Ternyata ada nomer polisi seperti yang saya sebutkan. Namun, pengemudinya bernama Agus Salim.

Sampai di sini, pikiran macam-macam muncul. Berbagai kekhawatiran berkecamuk di hati dan pikiran.

Tapi Alhamdulillah, Aryo kembali menghubungi saya. “Ada pak, bapak coba catat nomer telpnya. 0819…”

Saya segera menghubungi nomer itu. Selesai menekan seluruh nomer itu, muncullah tulisan PAK KASDUNI.

Senyum mengembang di wajah, “Pantes..”

Di seberang sana; pria berkulit legam, beruban dan berusia sekitar lima puluhan lebih itu, tertawa mendengar penjelasan saya tentang penyebab miss komunikasi.

Ternyata pak Kasduni sudah menunggu sejak lama di kampus terdekat dengan kantor. Dalam perjalanan menemui pak Kasduni, saya berpikir ingin memberi tips kepada pak Kasduni atas amanah yang telah ditunaikannya. Sepuluh menit kemudian saya bertemu dengan pak Kasduni dan jalan beriringan sampai di kantor.

Satu paket buku pun sampai di kantor dan transaksi dengan pak Kasduni usai sudah. Saya berniat tidak ingin menghapus no contact pak Kasduni. Barangkali suatu saat saya membutuhkan orang yang dapat dipercaya ini.

Mungkin siapa saja pernah bertemu orang-orang se-tipe pak Kasduni. Sosok yang amanah dan dapat dipercaya. Penghargaan tinggi siap diberikan kepadanya. Tugas dan amanah yang lainnya akan siap diberikan padanya.
sumber image: infowisata.co

Sparring Patner



Menghafal Al-Quran akan terasa lengkap bila ada ‘sparring partner’. 

Sebagaimana berlatih tinju, seorang petinju membutuhkan lawan berlatih. Berlatih bersama sparring partner berbeda dengan berlatih sendiri. Seorang petinju yang berlatih sendiri merasa dirinya telah sempurna. Dia merasa gerakannya sudah gesit. Dia yakin pukulannya sudah mantap dan dapat merobohkan lawannya dalam waktu singkat. 

Tapi begitu ditemani oleh lawan berlatih. Persepsinya mungkin berubah. Ternyata ada petinju lain yang kegesitannya melebihi dirinya. Pukulan yang menurut perhitungannya dapat merobohkan lawan seketika ternyata tidak berpengaruh apa-apa. 

Demikian pula dalam menghafal Al-Quran serta mengulangnya. Ketika seseorang mulai menghafal Al-Quran, dia perlu mengulang-ulang hafalannya. Apakah sedikit, apalagi kalau banyak hafalannya. Mengulang-ulang hafalan atau yang biasa disebut dengan istilah muraja’ah dapat dilakukan secara pribadi. 

Sebagaimana berlatih tinju, mengulang-ulang hafalan seorang diri berbeda bila disertai dengan seorang teman yang menyimak hafalan. Mengulang hafalan seorang diri akan menyebabkan diri merasa yakin bahwa hafalan yang diulang-ulangnya telah benar. Tidak ada satu pun kata, bahkan huruf yang terlewat. 

Tapi kenyataannya, karena mengulang-ulang hafalan tanpa disertai dengan mushaf Al-Quran dan hanya mengandalkan ingatan, sudah tentu ada saja yang keliru. Satu huruf lah yang tidak terucap. Atau ada satu kata yang terlewatkan. Bahkan ada saja kasus, seorang penghafal yang lupa mengucapkan satu ayat. Satu ayat ini lupa diucapkan seolah telah hilang dari ingatan. 

Untuk itulah, seorang yang mengulang-ulang hafalan perlu ditemani oleh seorang teman. Bila mengulang hafalan disertai oleh seorang teman yang menyimak hafalan, pada saat itulah akan terlihat apakah benar-benar hafal atau 90% hafal. Seseorang akan menyadari bahwa anggapan bahwa dirinya telah hafal sebuah surat ternyata keliru. Sebab ada saja yang tertinggal tidak diucapkan. 

Oleh karena itulah, carilah teman sparring partner dalam menghafal dan mengulang-ulang hafalan Al-Quran. 

sumber image:www.eramuslim.com