Dulu, saya sering merasa
takut terlambat datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at. Takut menjadi
jama’ah terakhir yang hadir di masjid, sehingga pahala yang diterima merupakan
pahala yang paling kecil. Alangkah bahagianya menjadi jama’ah yang pertama kali
hadir di masjid ketika shalat Jum’at. Karena otomatis pahala yang diterima –sebagaimana
keterangan dari Rasulullah saw- pahala yang paling besar.
Tapi kenyataan yang ada
tidak demikian. Rasa takut saya tidak terjadi. Saya bukan termasuk jama’ah
terakhir yang hadir. Alhamdulillah, saya termasuk jama’ah yang awal-awal
datang, walau bukan yang pertama hadir.
Di satu sisi, saya
mensyukuri kondisi ini. Ternyata kaum muslimin yang lain tidak berlomba-lomba
untuk menjadi orang yang hadir pertama kali di masjid ketika Jum’atan. Bagi sebagian
mereka tidak menjadi masalah hadir di akhir waktu. Bahkan mungkin sebagian yang
lain beranggapan tidak menjadi masalah hadir ketika adzan Jum’at telah
berkumandang.
Tapi di sisi lain, saya
merasa prihatin. Mengapa kondisinya seperti ini? Saya juga seharusnya prihatin
pada diri ini, jika merasa puas pada kondisi yang ada, yaitu selalu merasa
bersyukur karena ‘keberuntungan’ sebagian kaum muslimin lebih lambat dari saya
untuk hadir ke masjid.
Dalam kasus yang lain,
saya pernah mendengar cerita dari seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri.
Mahasiswa ini selalu merasa tenang, walau memperoleh nilai yang buruk dalam
mata kuliah apa pun. Dia beranggapan, “Selama nilai saya di atas nilai anak
pejabat itu, saya masih aman.”
Kenapa dia berkata begitu?
Karena anak pejabat itu sudah pasti naik tingkat, sejelek apa pun nilainya.
Mungkin si mahasiswa akan
selalu bersyukur walau nilainya buruk, selama nilainya masih di atas nilai anak
pejabat itu.
Kasus kedua ini memiliki
kesamaan dengan kasus pertama. Di satu sisi, si mahasiswa selalu bersyukur
walau nilainya buruk, asal nilainya lebih bagus dari nilai anak pejabat itu.
Di sisi lain, si mahasiswa
seharusnya prihatin. Prihatin karena dia merasa puas dengan mengukur standar
nilainya pada nilai buruk anak pejabat. Bukankah untuk mengukur standar nilai,
sebaiknya dia merujuk pada nilai mahasiswa yang paling bagus? Sehingga dengan
demikian dia terinspirasi untuk memperoleh nilai tertinggi?
Semoga bermanfaat