Laman

Senin, 25 Agustus 2014

Antara Syukur dan Prihatin



Dulu, saya sering merasa takut terlambat datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at. Takut menjadi jama’ah terakhir yang hadir di masjid, sehingga pahala yang diterima merupakan pahala yang paling kecil. Alangkah bahagianya menjadi jama’ah yang pertama kali hadir di masjid ketika shalat Jum’at. Karena otomatis pahala yang diterima –sebagaimana keterangan dari Rasulullah saw- pahala yang paling besar.

Tapi kenyataan yang ada tidak demikian. Rasa takut saya tidak terjadi. Saya bukan termasuk jama’ah terakhir yang hadir. Alhamdulillah, saya termasuk jama’ah yang awal-awal datang, walau bukan yang pertama hadir.

Di satu sisi, saya mensyukuri kondisi ini. Ternyata kaum muslimin yang lain tidak berlomba-lomba untuk menjadi orang yang hadir pertama kali di masjid ketika Jum’atan. Bagi sebagian mereka tidak menjadi masalah hadir di akhir waktu. Bahkan mungkin sebagian yang lain beranggapan tidak menjadi masalah hadir ketika adzan Jum’at telah berkumandang.

Tapi di sisi lain, saya merasa prihatin. Mengapa kondisinya seperti ini? Saya juga seharusnya prihatin pada diri ini, jika merasa puas pada kondisi yang ada, yaitu selalu merasa bersyukur karena ‘keberuntungan’ sebagian kaum muslimin lebih lambat dari saya untuk hadir ke masjid.

Dalam kasus yang lain, saya pernah mendengar cerita dari seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri. Mahasiswa ini selalu merasa tenang, walau memperoleh nilai yang buruk dalam mata kuliah apa pun. Dia beranggapan, “Selama nilai saya di atas nilai anak pejabat itu, saya masih aman.”

Kenapa dia berkata begitu? Karena anak pejabat itu sudah pasti naik tingkat, sejelek apa pun nilainya.

Mungkin si mahasiswa akan selalu bersyukur walau nilainya buruk, selama nilainya masih di atas nilai anak pejabat itu.

Kasus kedua ini memiliki kesamaan dengan kasus pertama. Di satu sisi, si mahasiswa selalu bersyukur walau nilainya buruk, asal nilainya lebih bagus dari nilai anak pejabat itu.

Di sisi lain, si mahasiswa seharusnya prihatin. Prihatin karena dia merasa puas dengan mengukur standar nilainya pada nilai buruk anak pejabat. Bukankah untuk mengukur standar nilai, sebaiknya dia merujuk pada nilai mahasiswa yang paling bagus? Sehingga dengan demikian dia terinspirasi untuk memperoleh nilai tertinggi?

Semoga bermanfaat

Sabtu, 23 Agustus 2014

Ingat Ibu

Ada yang sering memperhatikan kumandang adzan –terutama adzan Maghrib- di televisi? Biasanya alunan suara adzan Maghrib, disertai dengan adegan ‘sinetron pendek’.

Salah satunya adalah adzan Maghrib atau Subuh yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta. Pada saat kumandang adzan itu, terdapat adegan seorang eksekutif muda. Dia sedang presentasi dihadapan orang banyak.

Di saat itu, HP-nya berdering, tertulis di sana, “Mama”. Namun eksekutif muda (eksmud) itu meneruskan presentasinya dan tidak mengangkat telepon dari ibunya.

Dalam perjalanan pulang, eksmud itu kembali mendapat telepon dari ibunya. Pada saat yang bersamaan, eksmud itu sedang menerima telepon di HP yang satunya. HP yang berdering dilihatnya. Di situ tertulis, “Mama”. Namun telepon dari ibunya tidak dipedulikan. Dia malah terus melanjutkan pembicaraan dengan seseorang yang mungkin rekan bisnisnya.

HP kembali berdering dan tertera di sana tulisan, “Mama”. Namun eksmud itu tidak menerima telepon dari ibunya. Karena dia masih sibuk menerima telepon dari rekan bisnisnya.

Pembicaraan telepon dengan rekan bisnis usai. Eksmud tersebut melanjutkan perjalanan dengan mobil hitamnya itu. Di lampu merah, ada seorang anak kecil yang menawarkan kincir angin atau kitiran yang terbuat dari karton. Kitiran itu pun dibeli.

Sambil memperhatikan kitiran yang dibelinya, eksmud itu terbayang masa kecilnya. Masa dimana dia pernah bermain kitiran dengan ibunya. Dia pun tersenyum dan pandangannya beralih ke anak kecil penjual kitiran tadi. Anak itu membeli setangkai bunga mawar.

Dia menyeberang jalan sambil membawa bunga mawar yang telah dibelinya. Eksmud itu terus memperhatikan dan mengikuti langkah anak kecil itu. Sampailah di areal pemakaman.

Anak kecil itu meletakkan mawar di sebuah pusara. Lalu dia meletakkan selembar kertas gambar yang bertuliskan selamat ulang tahun ibu.

Pemandangan ini mengingatkan si eksmud pada ibunya. Maka dengan serta merta dia menghubungi ibunya. Namun tidak ada jawaban. Berulang kali kembali dicoba, tetap saja tidak ada jawaban. Karena tidak ada jawaban, eksmud itu menjadi gelisah. Dia segera mengendarai mobilnya menuju kota Bandung. Sesampainya di kota Bandung, dia segera menemui ibunya.

Terlihat si ibu sedang membersihkan mainan-mainan anaknya. Dia terbayang pada putra satu-satunya itu di masa kecil. Tiba-tiba eksmud itu datang dan langsung memeluk ibunya.

Sebuah adegan sinetron pendek yang sarat pesan. Tiga kali ibu si eksmud menghubunginya, memanggilnya, namun tidak satu pun jawaban yang diberikan si eksmud. Si eksmud malah sibuk dengan pekerjaannya.

Padahal Rasulullah berpesan dan menekankan pentingnya berbakti pada ibu. Saking pentingnya berbakti pada ibu, Rasulullah mengucapkan tiga kali kata ibu dan sekali untuk kata ayah.

Bahkan Rasulullah memerintahkan kita sebagai seorang anak untuk menjawab panggilan ibu, termasuk ketika kita sedang menunaikan shalat sunnah. Rasulullah mengizinkan kita membatalkan shalat sunnah demi menjawab panggilan ibu.

Di dalam perjalanan pulang, si eksmud coba ‘disentil’, diingatkan lewat kitiran karton. Kitiran yang sempat mengingatkannya pada masa kecil. Namun tetap saja, si eksmud tidak tergerak untuk menelepon ibunya.

Tapi begitu dia melihat pemandangan anak kecil penjual kitiran meletakkan bunga dan sebuah gambar di pusara ibunya, barulah si eksmud teringat dengan ibunya. Dia menjadi gelisah dan segera menghubungi ibunya.

Kalau sebelumnya si ibu menelepon berulang kali tidak ada jawaban. Kini si eksmud berulang kali menelepon, namun tidak ada jawaban. Kondisi ini semakin membuatnya gelisah.

Adegan ini mengingatkan kita sebagai seorang anak untuk segera berbakti kepada orang tua, terlebih khusus ibu, mumpung mereka masih hidup.

Rasulullah berpesan, “Celakalah...celakalah....anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya, padahal keduanya masih hidup.”

Ya Allah, bantulah kami sebagai anak untuk selalu dapat berbakti kepada kedua orang tua kami. Aamiin

Butuh Makanan Ta'jil

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.38 dan waktu adzanMaghrib alias waktu berbuka puasa pukul 17.52. Sementara itu, saya masih dalamperjalanan pulang ke rumah. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai rumah, palingcepat 30 menit.

Ingin rasanya cepat sampai di rumah dan berbuka puasadi rumah. Waktu yang tersisa menuju Maghrib tinggal 14 menit dan untuk sampaidi rumah membutuhkan waktu 30 menit. Tapi saya tidak merasa khawatir, karena didalam tas, Alhamdulillah tersedia kurma. Jadi, kalau dalam perjalanan adzanMaghrib berkumandang, tinggal berhenti sebentar dan langsung membatalkan dengankurma.

Saya yakin ini pula yang dirasakan para pengendara,baik motor maupun mobil, ketika mereka dalam perjalanan pulang di sore harimenjelang Maghrib. Mereka sedang berpuasa Ramadhan, waktu Maghrib sebentar lagitiba, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk sampai di rumah cukup memakanwaktu.

“Buka puasa dimana ya? Kira-kira dalam perjalanan, dimana ya ada masjidnya? Dimana ya,warung terdekat?”

Itu kira-kira yang terlintas dalam pikiran. Bagi yangmenyiapkan makanan ta’jil pembatal puasa, mungkin tidak terlalu memusingkan halini. Pikiran-pikiran di atas biasanya terlintas bagi mereka yang tidakmenyiapkan makanan ta’jil pembatal puasa.

Lanjut ke cerita saya di atas. Ternyata lalu lintasdalam perjalanan pulang begitu lengang. Tidak ada lagi istilah bermacet ria.Tidak ada istilah lalu lintas macet karena si Komo lewat. Jalanan tidak begitubanyak dipenuhi oleh kendaraan.

Sedang asik-asiknya kendaraan melaju, tiba-tiba banyakkendaraan di depan saya berhenti tidak beraturan. Ada apakah gerangan?Sepertinya ada kecelakaan?

Perlahan tapi pasti kendaraan-kendaraan di depankembali berjalan dan penyebab ‘macet sesaat’ itupun terkuak. Ternyata ada orang-orangyang sedang membagikan makanan ta’jil pembatal puasa. Mereka membagikan tas-taskecil kepada para pengendara. Saya pun mengambilnya. Di dalamnya terdapatsekantong plastik kecil berisi tiga buah kurma, air mineral dalam kemasangelas, gorengan pisang coklat (piscok) dan bacang.

Subhanallah...ternyata para dermawan penyumbang makananta’jil sepertinya memahami pikiran-pikiran yang melintas di kepala parapengendara. Terutama bagi para pengendara yang tidak menyiapkan makanan ta’jildi tasnya.

Sebenarnya keberkahan makanan di bulan Ramadhan, tidakhanya ditemui di jalan-jalan. Kita bisa menemukan makanan pembatal puasa dimasjid-masjid. Kita bisa temukan kurma, gorengan, teh manis hangat, kolak danbahkan nasi kotak lengkap dengan lauk, sayuran, air mineral, buah-buahan dankerupuknya.

Dimana rencananya teman-teman berbuka puasa hari ini?Di rumah, di kantor atau di jalan? 

Satu Lagi di Bulan Ramadhan

“Bedug....bedug...”

Begitu teriakanyang keluar dari saya atau adik ketika kumandang adzan Maghrib terdengar.

Kami berlarimelewati kebun milik ibu, teras, ruang tamu, teruuus ke belakang dan sampai diruang makan.

Es sirup langsungditenggak. Disusul kolak atau makanan sejenisnya. Begitulah kondisi di masakecil di bulan Ramadhan.

Saya yakin,demikian pula kondisi anak-anak kecil lainnya ketika terdengar adzan Maghrib.Seharian berpuasa, begitu memayahkan bagi mereka. Adzan Maghrib bagi merekabagai kucuran air ketika terik matahari di padang pasir menimpa mereka.

Bagi orang dewasa,kumandang adzan Maghrib di bulan Ramadhan, juga disambut suka cita. Benar apayang Rasulullah saw sabdakan, “Kebahagian bagi orang berpuasa terdapat dua.Pertama ketika bertemu dengan Allah kelak. Kedua ketika berbuka puasa.”

Orang dewasa puntidak bedanya dengan anak kecil. Membatalkan puasa dengan kurma, seteguk airdan makan makanan yang ‘sebangsa’ dengan kolak.

Begitu seterusnyaselama Ramadhan sebulan penuh. Makan sahur dan berbuka menjadi sesuatu yangrutin.

Mungkin dibulan-bulan lain, untuk sebagian orang kerutinan sarapan, makan siang ataumakan malam tidak ada. Karena kesibukan urusan kantor, makan siang terlewati.Karena sibuk belajar, makan siang juga terlewati. Ada seorang penulis pernahbercerita bahwa masa kecilnya sibuk dengan membaca. Jika sudah membaca sampailupa makan.

Tidak bisa sarapan,karena takut terlambat masuk sekolah atau kantor, terkadang juga terjadi padasebagian orang.

Padahal perut jugamempunyai hak. Ketika merasa lapar, pada hakekatnya perut sedang menuntuthaknya. Jika bukan bulan Ramadhan dan perut sudah lapar, penuhilah haknya.

Sahur dan berbuka dibulan Ramadhan pada hakekatnya mengajarkan kita untuk kembali memperhatikanhaknya perut. Jika kita dapat memenuhi hak perut di bulan Ramadhan, mengapakita sulit memenuhi haknya perut di bulan-bulan selain Ramadhan.

Mari kita niatuntuk memenuhi haknya perut di bulan-bulan setelah Ramadhan, bismillah

Kamis, 21 Agustus 2014

Mau Jadi Pemimpin?



Patih Gajah Mada pernah berkata, “Saya tidak akan menikmati palapa atau rempah-rempah, namun juga bisa diartikan, tidak akan menikmati kenikmatan dunia sebelum bisa mempersatukan Nusantara.”

Wakil Presiden RI pertama, Bung Hatta pernah bersumpah, “Saya tidak akan menikah hingga Indonesia merdeka.”

Khalifah Umar bin Khaththab ra berkata, “Saya adalah orang pertama yang merasakan kesengsaraan rakyat dan orang terakhir yang merasakan kesenangan dan kegembiraan rakyat.”

Begitulah orang besar. Mereka semua mengajarkan apa yang namanya prioritas. Mereka mencontohkan bahwa kepentingan rakyat dan masyarakat umum di atas kepentingan dan kesenangan pribadi.

Entah palapa itu seperti apa. Kalau berarti rempah-rempah, apa saja yang termasuk palapa, saya tidak tahu. Tapi yang jelas Gajah Mada ingin menunjukkan bahwa kesenangan pribadi harus dikesampingkan terlebih dahulu dan mengedepankan bersatunya nusantara yang merupakan kepentingan rakyat banyak.

Menikah merupakan naluri dan keinginan alamiah manusia. Setiap manusia pasti memiliki keinginan menikah. Itu wajar. Keinginan ini pula yang hinggap pada diri Bung Hatta. Sekali lagi, ini wajar. Namun dengan bijaksananya, Bung Hatta memutuskan bahwa menikah dapat ditunda, sedangkan perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Sebagai seorang khalifah, Umar ra memiliki kekuasaan, kekuasaan untuk menikmati berbagai kenikmatan dunia. Tapi bukan itu yang dipilih Umar dan bukan itu pula yang ada dalam pikirannya. Kesenangan rakyatnya yang lebih diutamakan ketimbang kesenangan pribadinya.

Apakah semua tekad, ucapan mereka itu terbukti atau hanya Omong Doang alias Omdo.

Sumpah Palapa dibacakan Patih Gajah Mada saat upacara pengangkatan. Ketika itu beliau diangkat sebagai Patih Amangkubhumi tahun 1258 saka atau 1336 masehi.

Kira-kira bunyi Sumpah Palapa yang dibacakan oleh sang mahapatih itu adalah sebagai berikut "Sebagai Patih Amangkubhumi Gajah Mada pantang meninggalkan puasa sampai daerah-daerah di nusantara berhasil dikalahkan (dipersatukan)."

Sumpah Palapa yang ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton. Didalam sumpahnya, Gajah Mada tidak akan menikmati palapa atau rempah-rempah, namun juga bisa diartikan, tidak akan menikmati kenikmatan dunia sebelum bisa mempersatukan Nusantara.

Beliau baru melepaskan puasa setelah berhasil mempersatukan daerah-daerah taklukan. Daerah tersebut antara lain, Gurun (Nusa Penida), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kerajaan Tanjung Pura, Ketapang, Kalimantan Barat), Haru (Karo/Sumatera Utara), Pahang (Semenanjung Melayu), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik (Singapura).

Bagaimana dengan wakil presiden RI pertama, Bung Hatta? Apakah dia membuktikan ucapannya? Bung Hatta sejak mudanya sudah berjuang untuk meraih kemerdekaan RI. Sampai-sampai dia baru menikah di usia 43 tahun, tepatnya di tanggal 18 November 1945. Itupun setelah dijodohkan oleh Bung Karno dengan Rachmi Rachim yang pada saat itu berusia 19 tahun.

Bagaimana dengan Umar bn Khaththab ra? Dalam sebuah buku (saya lupa judulnya) karya Dr. Aidh Al-Qarniy, diriwayatkan khalifah Umar pernah tidur di tenda pengungsian korban bencana. Dia ingin menjadi orang pertama yang merasakan bagaimana rasanya menjadi pengungsi. Dia ingin tahu langsung dan bukan diberitahu tentang kondisi rakyatnya yang ditimpa bencana.

Di dalam buku Belajar dari Dua Umar, karya Hepi Andi Bastoni, dibahas mengenai khalifah Umar yang mengirimkan surat kepada gubernurnya di Azerbaijan yang bernama Utbah bin Farqad. Di dalam suratnya ini Umar menuliskan, kata-kata sebagai berikut, “Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu.”

Umar menulis surat berisikan teguran pedas ini, lantaran beliau mendapat kiriman makanan dari gubernur Azerbaijan. Makanan ini merupakan makanan yang lezat dan hanya untuk orang-orang tertentu. Makanan ini tidak dikonsumsi oleh rakyat biasa.

Ini merupakan bukti bahwa Umar ingin menjadi orang terakhir yang merasakan nikmatnya makanan terlezat di Azerbaijan dan rakyatnya merupakan orang-orang pertama yang merasakan lezatnya makanan itu.

Mau jadi pemimpin?

sumber image:suaratuhan.blogspot.com

Mushallaku Sayang, Mushallaku Malang



Kunci Mushalla dekat rumah dipegang oleh beberapa orang. Pak Pr, pak Bm, pak Sd dan pak Sls. Merekalah ‘juru kunci’ mushalla Al-Ikhlas. Yang menjadi masalah, bila waktu shalat telah tiba, terkadang tidak satu pun dari mereka yang datang tepat waktu, akibatnya para jama’ah tidak bisa masuk ke mushalla.

Mereka terpaksa menunaikan shalat sunnah di pelataran mushalla. Shalat di pelataran mushalla terkadang tidak nyaman, karena lantainya agak berdebu.

Bila shalat berjama’ah telah dilakukan, ketidaknyamanan kembali terjadi. Karena juru kunci mushalla menunggu mereka yang sedang menunaikan shalat sunnah. Gak enak banget, menunaikan shalat ditunggu oleh orang. Maklum mushalla kembali akan dikunci bila seluruh aktivitas mushalla usai.

Sebenarnya dulu, kunci mushalla diletakkan di suatu tempat tersembunyi di mushalla. Hanya mereka yang biasa ke mushalla saja yang tahu tempat itu. Namun sejak ada pencurian kotak amal beberapa kali, kunci dipegang oleh petugas mushalla atau orang-orang yang tinggalnya dekat dengan mushalla.

Kasus pencurian di mushalla atau masjid bukan merupakan kasus yang baru. Namun terkadang cukup mengesalkan. Sepatu saya pernah hilang di sebuah masjid. Laptop seorang teman juga hilang di masjid.

Karena sepatu pernah hilang itulah, saya sempat anti ke masjid ‘terdakwa’ itu. Saya jera beribadah di masjid itu.

Padahal kalau dipikir-pikir, tidak pantas kita merasa jera datang ke masjid. Tidak layak kita was-was, merasa tidak nyaman di masjid.

Karena di masjid, kita ingin menunaikan ibadah, melakukan amal shalih dan berharap tertular aura keshalihan.

Tapi itulah kondisi sebagian masjid kita. Ini menjadi PR buat kita semua.

sumber image: http://designomah.files.wordpress.com

Bapak Tua Itu

Bapak tua itu kerap duduk di atas kursi ketika menunaikan shalat berjama’ah. Posisi tempat duduknya selalu di bagian paling pinggir di sisi  kanan. Tepatnya di pintu masuk masjid Al-Muqarrabin. Hampir setiap orang yang ingin menunaikan shalat berjama’ah, melewati pintu tersebut. Artinya, bertemu muka dengan bapak tua itu.

Bapak tua itu sering menjadi patokan, berkumandangnya adzan. Jika muadzin sudah ingin mengumandangkan adzan, bapak tua itu peringatkan bahwa waktu shalat belum masuk. Ketika waktu telah tiba, dia pun memberi isyarat dengan tangannya dan berkata, “Ya, sudah masuk.” Muadzin pun mengumandangkan adzan.

Bila bertemu dengan bapak tua itu di saat Maghrib, maka usai shalat Maghrib, dia tidak langsung pulang. Dia menunggu waktu Isya tiba.

Lain halnya, jika bertemu dengan bapak tua itu di saat Dzuhur, maka dia akan langsung pulang selepas menunaikan shalat Dzuhur.

Usai menunaikan shalat, barulah orang-orang tahu kondisi bapak tua itu. Dia selalu dibantu tongkat ketika berjalan. Tongkat itu menjadi kakinya yang ketiga untuk menopang tubuhnya yang telah renta.

Sementara itu, salah seorang pengurus masjid sudah siap mengantarkan bapak tua itu pulang. Dia diantar dengan sepeda motor.

Itulah rutinitas bapak tua yang rajin menunaikan shalat berjama’ah di masjid Al-Muqarrabin.

Jika kebetulan saya shalat di masjid Al-Muqarrabin, pemandangan di ataslah yang kerap tertangkap.

Bapak tua yang kira-kira usianya sudah berkepala tujuh itu kerap menunaikan shalat berjama’ah. Walau kedua kakinya sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya yang kurus, tapi dia tetap ingin menjadi salah satu makmum langganan.

Waktu shalat sepertinya sudah hapal di luar kepala. Sehingga seringkali, terlihat telah hadir sebelum waktu shalat tiba.  

Terima kasih bapak tua. Engkau telah mengajarkan kami sebuah pesan tersirat.

Tau Aje

Ketika akanberwudhu’ tuk tunaikan shalat Jum’at, terdengar percakapan yang menarik.

“Tahu aja, motorane pengen keluar,” ujar seorang pria setengah tua berkaca mata

Yang diajak bicaratersenyum. Sambil menggeser keluar motor miliknya, dia menanggapi, “Iya donk.”

Ternyata merekaberdua sudah saling kenal. Setelah itu terjadi percakapan yang saya sudah tidakperhatikan lagi.

Masih di masjidBaiturrahman kawasan Cawang. Ada lagi peristiwa yang mirip sekali kejadiannya.Saya sudah bersiap-siap. Kunci gembok motor dibuka. Kunci stang pun dibuka.Tiba-tiba seseorang berkata, “Geser aja motor saya pak,”

“Oh ya, tenang ajapak. Masih lama kok, saya belum pakai jaket. Memang pada saat pemuda itubicara, saya belum mengenakan jaket, sarung tangan, penutup mulut dan helm.

Belum lagi seluruhperlengkapan biker selesai dikenakan, pemuda itu langsung menggeser-geser letakmotornya. Menggeser sambil mengira-ngira, apakah motor saya bisa lewat. Apakahmotor pemuda itu menggangu keluarnya motor saya.

Dua peristiwa yangmirip telah terjadi. Terjadi di hari, waktu dan tempat yang sama.

Satu peristiwaterjadi pada orang lain. Satunya lagi terjadi pada diri saya.

Karena peristiwayang terjadi mirip sekali, saya bisa merasakan betapa senangnya bapak setengahtua itu ketika sahabatnya memberi jalan motornya keluar.

Rasa senangnya ituterungkap dalam ucapannya di atas, “Tahu aja, motor ane pengen keluar.”

Seorang pemudacurhat kepada sahabatnya. Sahabatnya ini menyimak dan memperhatikan curhatanpemuda itu. Mengetahui bahwa sahabatnya menyimak yang terlihat dari berbagaitanggapan, merupakan kesenangan tersendiri bagi si pemuda.

Pemuda ini akanlebih senang lagi, bila sahabatnya memberi saran dan usulan-usulan yang tepatdan jitu.

Pemuda ini akanbertambah senang, bila sahabatnya memberi bantuan dalam bentuk yang nyata.

Bagaimana kalaukondisinya berbeda, tidak seperti di atas. Sahabatnya ini sudah tahupermasalahan si pemuda, walau belum mendengar curhatan?

Sahabatnya inilangsung membuka pembicaraan tentang permasalahan si pemuda. Dia langsungmembicarakan mengenai solusi dan jalan keluar –baik masih berupa usulan maupundalam bentuk nyata-. Padahal si pemuda belum menyampaikan curhatannya walauhanya sepatah kata.

Saya yakin pemudaitu akan tersenyum-senyum mendengar pembicaraan sahabatnya ini. Bisa jadi sipemuda tidak kuat untuk mengungkapkan rasa bahagianya ini. Dengan mata sedikitberkaca-kaca, pemuda itu berkata, “Ma kasih, ya. Elo emang the best. Gw belumcerita apa-apa, elo udah tahu permasalahan gw. Luar biasa. Ma kasih ya.”

Bisa jadi pemudaitu langsung mentraktir sahabatnya, sebagai ungkapan rasa senang dan syukur.Beban permasalahan terasa lebih ringan. Karena ternyata sahabatnya telahmemikirkan dan mencari jalan keluar. Sehingga dia merasa tidak sendiri dalammenghadapi permasalahan. 

Semoga bermanfaat.

Pagi Buta

“Semalam hujan. Pas jam satu tuh.” ujar Mpok Kemeh, penjual makanan untuk sarapan.
“Emang jam satu udeh bangun mpok?” tanya saya
“Udeh. Kan siap-siap untuk dagangan buat besok pagi,”
“Kirain, bangunnye jam tiga-an. Siap-siapin buat dagangan jam tiga-an. Emang tidur jam berape mpok?”
“Jam tujuh-an (maksudnya selepas Isya), juga udeh tidur.”

Mpok Kemeh memang pagi-pagi buta sudah siap dengan dagangannya. Kalau orang-orang mau berangkat shalat Subuh, biasanya gerobak penjual nasi uduk ini sudah ‘nongkrong’ di tempatnya.

Bukan hanya mpok Kemeh yang beraksi di pagi-pagi buta. Pak Waluyo, agen koran ini juga sudah beraksi di saat orang-orang masih terlelap. Biasanya sepulang jama’ah shalat Subuh dari masjid, di halaman rumah pak Waluyo terlihat kesibukan pengaturan dan pembagian koran kepada anak buahnya.
Kalau dengar cerita pak Waluyo, sekitar pukul 3 pagi, dia sudah berangkat untuk mengambil koran di agen ‘up line’ nya.

Aksi mpok Kemeh dan pak Waluyo, juga disaingi oleh aksi pak Dasuki dan bu Ani. Suami istri penjual sayur-sayuran, ikan, daging dan bahan-bahan mentah lainnya ini, juga beraksi di pagi-pagi buta. Tidak lama setelah usai shalat Subuh  di masjid, biasanya warungnya telah buka.

Kadang kalau dipikir-pikir, di saat diri sedang merasa malas, kurang bersemangat, magnet untuk menarik selimut lebih kuat dibandingkan menyingkirkannya. Lalu bandingkan dengan mpok Kemeh, Pak Waluyo dan suami istri; pak Dasuki dan bu Ani, malu rasanya diri ini.

Langkah mpok Kemeh, pak Waluyo, pak Dasuki dan bu Ani entah sudah sejauh apa. Sedangkan diri ini, jangankan langkah yang ke seribu, langkah yang pertama saja belum ditapaki.

Di saat mpok Kemeh, pak Waluyo, pak Dasuki dan bu Ani sudah siap berdoa, memohon kepada Allah swt di waktu sepertiga malam terakhir, yaitu di saat maqbulnya sebuah doa, diri ini masih asik dengan guling dan bantal.

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aamiin
sumber image:http://inspiringwannabe.files.wordpress.com/

Minggu, 17 Agustus 2014

Belajar dari Mobil Kursus



     
Saya yakin kita sering melihat mobil kursus menyetir lalu lalang di jalan. Di mobil itu tertulis nama tempat kursus menyetir, alamat dan nomor kontak yang bisa dihubungi. Satu lagi, di sana terpampang tulisan BELAJAR.
        Seorang teman pernah bergurau ketika melihat mobil kursus menyetir ini, “Kenapa harus BELAJAR, kalo bisa nyontek?”
        Semua orang tahu tulisan BELAJAR yang tertera di mobil kursus menyetir tersebut ditujukan pada orang yang sedang kursus menyetir. Orang itu sedang belajar menyetir, langsung praktek dengan mobilnya dan ditemani oleh seorang instruktur.
      Tapi keren juga bila ternyata yang dimaksud tulisan BELAJAR itu bukan hanya ditujukan pada orang yang sedang kursus menyetir. Tapi yayasan atau perusahaan tempat kursus itu juga mempunyai semangat untuk selalu belajar. Belajar bagaimana melayani klien dengan baik, belajar dari pengalaman-pengalaman yang telah ada, belajar karakter dan sifat klien yang bermacam-macam dan belajar apa saja. Jika benar semangat belajar juga tertanam dalam diri instruktur atau yayasan tempat kursus, tentu akan terjadi kemajuan yang amat pesat. Baik bagi para instruktur maupun tempat kursusnya.
       Sehingga tempat kursus menyetir melakukan dua hal; mengajar dan belajar. Mengajarkan bagaimana menyetir dengan baik dan belajar dari interaksi dengan para klien.
       Banyak sekolah, tempat kursus, lembaga training nampaknya perlu memegang dua  semangat ini; mengajar dan belajar.
     Nabi Musa saja mau belajar. Tentu kita semua tahu bahwa nabi Musa belajar dengan nabi Khidir. Coba saja kita lihat di dalam surat Al-Kahfi.
    Bukan hanya nabi Musa, semua nabi dan rasul tentunya  juga merupakan sosok orang yang selain mengajar, juga mempunyai semangat belajar. Bagaimana mungkin mereka berdakwah dan mengajarkan kepada umat, bila mereka sendiri belum mempelajari dan memahami apa yang akan disampaikan? Bukankah begitu logikanya?
      Umar bin Khaththab ra selalu menanyakan kepada salah seorang sahabatnya tentang apa saja yang telah disampaikan Rasulullah, ketika dirinya tidak bisa hadir dalam majelis ilmu yang diadakan Rasulullah. Demikian pula sebaliknya, sahabatnya ini akan bertanya kepada Umar, jika dia tidak dapat hadir dalam majelis.
     Diriwayatkan Umar bin Khaththab pernah bertanya kepada Ali bin Abu Thalib ra.
   Ya Allah jadikan kami orang-orang yang selalu mempunyai semangat belajar dan mengajar  aamiin.
sumber image:http://3.bp.blogspot.com

Alam Meninggalkan Pesan

 
Teman-teman sudah pernah baca tentang Keajaiban Hujan? Artikel ini ditulis oleh Harun Yahya.
        Ada hal menarik yang mungkin berguna untuk kita semua. Dalam artikel itu dijelaskan tentang ukuran hujan dilihat dari kecepatan turunnya hujan. Berikut saya petikan tulisan terkait dengan kecepatan hujan;
        Pengukuran lain yang berkaitan dengan hujan adalah mengenai kecepatan turunnya hujan. Ketinggian minimum awan adalah sekitar 12.000 meter. Ketika turun dari ketinggian ini, sebuah benda yang yang memiliki berat dan ukuran sebesar tetesan hujan akan terus melaju dan jatuh menimpa tanah dengan kecepatan 558km/jam. Tentunya, objek apapun yang jatuh dengan kecepatan tersebut akan mengakibatkan kerusakan. Dan apabila hujan turun dengan cara demikian, maka seluruh lahan tanaman akan hancur, pemukiman, perumahan, kendaraan akan mengalami kerusakan, dan orang-orang pun tidak dapat pergi keluar tanpa mengenakan alat perlindungan ekstra. Terlebih lagi, perhitungan ini dibuat untuk ketinggian 12.000 meter, faktanya terdapat awan yang memiliki ketinggian hanya sekitar 10.000 meter. Sebuah tetesan hujan yang jatuh pada ketinggian ini tentu saja akan jatuh pada kecepatan yang mampu merusak apa saja.
          Namun tidak demikian terjadinya, dari ketinggian berapapun hujan itu turun,  kecepatan rata-ratanya hanya sekitar 8-10 km/jam ketika mencapai tanah. Hal ini disebabkan karena bentuk tetesan hujan yang sangat istimewa. Keistimewaan bentuk tetesan hujan ini meningkatkan efek gesekan atmosfer dan mempertahankan kelajuan tetesan-tetesan hujan ketika mencapai “batas” kecepatan tertentu. (Saat ini, parasut dirancang dengan menggunakan teknik ini).
       Berdasarkan keterangan di atas, kecepatan hujan itu hanya sekitar 8-10 km/jam, sehingga tidak membahayakan kondisi alam di bumi. Bagaimana bila hujan turun dengan kecepatan 558 km/jam? Berdasarkan keterangan di atas, bila hujan turun dengan kecepatan ini, semua lahan tanaman akan hancur, rumah dan kendaraan akan mengalami kerusakan.
     Maha Bijaksana Allah yang telah menurunkan hujan dengan kecepatan hanya sekitar 8-10 km. Berbicara tentang ukuran, saya teringat dengan sebuah tulisan karya Abdurrazaq Naufal. Dalam bukunya, Abdurrazaq Naufal menjelaskan bahwa posisi matahari saat ini merupakan posisi yang sudah ideal. Bila jarak antara matahari dijauhkan sedikit saja dari bumi, maka seluruh makhluk di bumi akan membeku. Sebaliknya bila jarak matahari ke bumi, didekatkan sedikit saja, maka seluruh makhluk yang ada di bumi akan terbakar.
    Sekali lagi Maha Bijaksana Allah yang telah menentukan ukuran jarak matahari ke bumi.
    Di dalam buku Wujudullah karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dijelaskan bahwa segala yang memiliki ukuran pasti ada yang menentukan ukurannya. Celana atau baju yang dibuat di tukang jahit, ukurannya ditentukan oleh si pemesan. Ukuran buku yang akan dicetak ditentukan oleh pemesan buku dan seterusnya.
      Di dalam buku ini Qaradhawi menyitir sebuah ayat, “dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS Furqaan (25):2)
      Dalam buku Thariiqul Iman, karya Samih Athif Zain dijelaskan tentang sikap orang-orang Komunis. Mereka berpendapat berubahnya air menjadi es, karena benturan antar materi, perubahan itu merupakan perubahan yang alami, tidak ada campur tangan Tuhan. Sikap mereka ini dibantah dengan sebuah pertanyaan, “Lalu kenapa air bisa menjadi es ketika sampai pada suhu tertentu. Bila tidak sampai pada suhu itu, air tidak berubah menjadi es?”
        Kondisi alam yang ada di sekitar kita sebenarnya merupakan informasi untuk kita tentang betapa Bijaksananya Allah, betapa Kuasanya Allah.
 
sumber image: mypangandaran.com