Laman

Senin, 25 Agustus 2014

Antara Syukur dan Prihatin



Dulu, saya sering merasa takut terlambat datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at. Takut menjadi jama’ah terakhir yang hadir di masjid, sehingga pahala yang diterima merupakan pahala yang paling kecil. Alangkah bahagianya menjadi jama’ah yang pertama kali hadir di masjid ketika shalat Jum’at. Karena otomatis pahala yang diterima –sebagaimana keterangan dari Rasulullah saw- pahala yang paling besar.

Tapi kenyataan yang ada tidak demikian. Rasa takut saya tidak terjadi. Saya bukan termasuk jama’ah terakhir yang hadir. Alhamdulillah, saya termasuk jama’ah yang awal-awal datang, walau bukan yang pertama hadir.

Di satu sisi, saya mensyukuri kondisi ini. Ternyata kaum muslimin yang lain tidak berlomba-lomba untuk menjadi orang yang hadir pertama kali di masjid ketika Jum’atan. Bagi sebagian mereka tidak menjadi masalah hadir di akhir waktu. Bahkan mungkin sebagian yang lain beranggapan tidak menjadi masalah hadir ketika adzan Jum’at telah berkumandang.

Tapi di sisi lain, saya merasa prihatin. Mengapa kondisinya seperti ini? Saya juga seharusnya prihatin pada diri ini, jika merasa puas pada kondisi yang ada, yaitu selalu merasa bersyukur karena ‘keberuntungan’ sebagian kaum muslimin lebih lambat dari saya untuk hadir ke masjid.

Dalam kasus yang lain, saya pernah mendengar cerita dari seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri. Mahasiswa ini selalu merasa tenang, walau memperoleh nilai yang buruk dalam mata kuliah apa pun. Dia beranggapan, “Selama nilai saya di atas nilai anak pejabat itu, saya masih aman.”

Kenapa dia berkata begitu? Karena anak pejabat itu sudah pasti naik tingkat, sejelek apa pun nilainya.

Mungkin si mahasiswa akan selalu bersyukur walau nilainya buruk, selama nilainya masih di atas nilai anak pejabat itu.

Kasus kedua ini memiliki kesamaan dengan kasus pertama. Di satu sisi, si mahasiswa selalu bersyukur walau nilainya buruk, asal nilainya lebih bagus dari nilai anak pejabat itu.

Di sisi lain, si mahasiswa seharusnya prihatin. Prihatin karena dia merasa puas dengan mengukur standar nilainya pada nilai buruk anak pejabat. Bukankah untuk mengukur standar nilai, sebaiknya dia merujuk pada nilai mahasiswa yang paling bagus? Sehingga dengan demikian dia terinspirasi untuk memperoleh nilai tertinggi?

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar