Laman

Rabu, 18 April 2018

Penulis Perlu Foto Yang Provokatif



Gedung Permata Kuningan kembali diramaikan para penulis dari Forum Lingkar Pena Jakarta (FLP) Jakarta. Seperti dua bulan yang lalu, kegiatan Blogger Anti Mager merupakan hasil kerjasama FLP Jakarta Proxsis Consulting dan masih berkait dengan blog. Tema kali ini tentang Fotografi.

Sudah menjadi rahasia umum, sebuah cerita, berita, tanpa foto dapat dikatakan Hoax. Begitu yang disampaikan mas Junwinanto sebagai pemateri tunggal. Sehingga tulisan yang berada di blog memerlukan adanya kehadiran foto. Apalagi jika tulisannya terkait dengan reportase atau liputan. Kita mengaku hadir dalam acara, tapi tidak memiliki fotonya. Ini akan menurunkan ‘kredibilitas’ sebuah tulisan reportase.

Tapi para pembaca tidak usah khawatir akan reportase yang sedang dibaca ini. Insya Allah saya punya berita, foto dan saksi-saksi hidup. Sehingga dengan yakin mengatakan bahwa saya hadir acara blogger yang diadakan pada tanggal 8 April 2018 kemarin.

Pembahasan dimulai dari bedanya antara istilah picture dan photograph. Picture merupakan yang merupakan hasil lukisan. Sedangan photograph adalah yang diambil dari kamera.  

Kenapa harus ada foto? Dengan foto, seseorang dapat menunjukkan bahwa dirinya hadir di dalam sebuah acara. Dari foto saja, seseorang dapat menceritakan berbagai kejadian dan peristiwa. Jadi, foto benar-benar sesuatu yang penting, baik dia sebagai penulis blogger maupun yang bukan blogger. Kadang dari foto, kita teringat sesuatu yang penting. Kadang pemicu munculnya sebuah ide.

Tapi permasalahannya menghasilkan foto bukan sekedar merekam ‘jejek’ aktivitas atau perjalanan semata. Perlu juga adanya foto yang berkualitas, yang menarik. Jika judul sebuah tulisan sudah eye catching dan foto yang menyertainya juga ‘provokatif’, tentu akan berdampak luar biasa.

Di dalam kelas blogger inilah, kami diajarkan beberapa tekhnis memotret. Ada yang dinamakan Frog Eyes, memotret dengan posisi tiarap; dari bawah. Jika mengambil obyek foto dari atas, ini dinamakan Bird Eyes. Serta ada beberapa tekhnis pemotretan lainnya. Seperti pemotretan dari posisi sejajar dengan obyek, tinggi sedikit dari obyek atau lebih rendah sedikit dari obyek.

Yang menarik adalah kami langsung praktek pemotretan. Karena tema pada hari itu adalah makanan berwarna warni. Saya mencoba mengambil beberapa makanan berwarna hijau, diletakkan di atas taplak berwarna hijau. Pemotretan terhadap obyek-obyek itu diambil dari beberapa posisi.

Hasilnya, saya tanyakan langsung kepada mas Jun. Alhamdulillah, sedikit ada pengarahan dari mas Jun terhadap hasil pemotretan.

nb: Mohon izin kepada pemilik foto di atas. Terima kasih

Selasa, 27 Februari 2018

Jempol Untuk Pemda Bekasi (repost)


JEMPOL UNTUK PEMDA BEKASI

Bila para pembaca memasuki jalan Jatiwaringin dan mengarahkan kendaraan ke Pasar Pondok Gede, maka akan bertemu pertigaan. Belok ke kanan, tak lama setelah itu akan bertemu kembali pertigaan. Para pembaca bisa berjalan lurus ke arah Lubang Buaya dan bisa pula berbelok ke kiri ke arah Kranggan.

Jalanan yang menuju ke Kranggan itu, biasanya hancur, tidak karuan. Banyak lubang dan berbatu-batu. Siapa saja yang pernah melewati ini, mungkin akan jera. Tidak mau lagi melewati jalanan ini.

Tapi ternyata, Sabtu kemarin, sudah berbeda keadaannya. Jalanan itu licin. Kalau ada lalat, mungkin dia akan terpeleset. Yang lebih mengejutkan lagi, kali ini diperbaiki dengan kualitas terbaik. Bukan sekedar di aspal saja. Kali ini diplester (kata orang) dengan system cakar ayam,

Diplester dengan cakar ayam, sebelum ditutup dengan semen atau aspal, diletakkan terlebih dahulu batang-batang besi. Konon katanya, system cakar ayam ini lebih kuat dari pengaspalan jalan dengan menggunakan aspal saja.

Saya yakin semua warga Bekasi, utamanya mereka yang biasa menggunakan akses jalan itu akan merasa senang. Hak sebagai warga untuk dapat menikmati jalanan yang layak telah terpenuhi.

Jempol untuk Pemda Bekasi. Tapi kalau itu dikerjakan oleh swadaya masyarakat, mungkin Pemda Bekasi masih layak mendapat jempol. Tapi posisi jempol mengarah ke bawah dan bukan ke atas.

Ada-ada Saja (repost)



ADA-ADA SAJA (INTERMEZZO)

Ada-ada saja. Ya memang ada-ada saja. Siang ini kantor akan kedatangan tamu. Termasuk tamu terhormat.  Karena tahu ada tamu yang akan datang, salah seorang teman langsung mengajukan usul ke bagian keuangan.

“Pak …beli makanan tuh. Khan ada tamu yang akan datang.”

Mendengar usulan ini, saya langsung menyambut usulan itu, “Ya Pak.  Apalagi nanti tamu itu datang bersama istri, anak dan mungkin mantunya.”

Usulan saya ini sebenarnya punya maksud-maksud tertentu. Tahu lah…apa itu.

Untuk memperkuat usulan itu, saya langsung  menyertakan dalil-dalil keutamaan menghormati tamu.

Tapi usulan itu ternyata tidak mendapat respon dari bagian keuangan. Saya kembali melontarkan dalil berikutnya.

“Khan, setelah Rasulullah menerima wahyu, beliau gemetaran seperti ketakutan. Apa yang dikatakan Khadijah untuk menenangkannya?”

“Khadijah mengatakan, “Wahai Muhammad! Engkau tidak perlu takut. Engkau orang baik. Engkau biasa menghormati tamu.”

Jadi menghormati tamu itu ajaran yang sudah dipraktekkan Rasulullah sejak lama.

Tapi tetap saja, usulan itu tidak digubris.

Yaaah, hilang deh harapan. Siang ini tidak ada makanan kecil. Tepatnya sisa makanan dari yang disediakan untuk tamu.

Hehehehehe

Senin, 26 Februari 2018

Detektif Conan Mengajarkan (repost)



DETEKTIF CONAN MENGAJARKAN

“Profesor kamu tadi baru pulang dari restoran Colombo ya! Cukup tergesa-gesa” ujar Detective Conan

“Kok tahu.” Jawab Prof Agasa

“Baju professor itu bagian depan ada bekas basah, tapi bagian belakang tidak ada. Itu buktinya  professor lari dalam hujan,” kembali Conan mencoba buktikan bahwa dirinya itu Shinichi Kudo

“Di celana ada lumpur. Di sekitar sini yang jalannya berlumpur, hanya di depan Colombo yang sedang ada galian. Lagi pula di kumismu ada saus ala Colombo,” jelas Conan selanjutnya (Detektif Conan Jilid 1, dengan sedikit tambahan)

Analisa Conan yang luar biasa. Cepat mengambil kesimpulan tapi dengan beberapa pertimbangan. Walau dia tidak melihat prof Agasa berlari, namun Conan tahu bahwa prof berlari. Meski tidak menyaksikan langsung prof makan di restoran Colombo, tapi Conan tahu.

Untuk mengetahui adanya sesuatu, agar tahu perbuatan seseorang, tidak perlu melihat atau menyaksikanya sendiri.

Untuk membuktikan ada orang yang menumpahkan air, tidak perlu kita melihat langsung orang itu. Cukup dengan melihat bekas tumpahan airnya saja.

Dalam komik Conan diceritakan bahwa dia dapat mengetahui bahwa seorang wanita yang bertemu dgnnya termasuk atlet senam, setelah bersalaman dengannya saja. Ketika menemukan kenyataan bahwa tangan wanita yang diajak salaman kasar, maka sudah diketahui bahwa wanita itu atlet senam.

Kita dapat mengetahui ada harimau dengan hanya menemukan jejaknya saja. Kita dapat mengetahui bahwa ada anggota keluarga kita yang baru saja makan jengkol, dengan terciumnya aroma jengkol di kamar mandi. Kita yakin ada kambing yang buang kotoran di depan rumah, dengan menemukan kotorannya yang hitam bulat-bulat di depan rumah.

Walaupun kita tidak melihat langsung harimau yang lewat. Meskipun tidak menyaksikan langsung anggota keluarga yang makan jengkol. Dan, tidak menyaksikan langsung kambing buang kotoran di depan rumah.

Walau tidak melihat Allah secara langsung. Meski tidak melihat langsung ketika Allah menciptakan alam semesta ini, kita dapat berkesimpulan ada suatu zat yang menciptakan dan mengadakannya.

sumber image: http://solo.tribunnews.com 

Hukuman Mati Atas Pembunuh Tidak Kejam (repost)


HUKUMAN MATI ATAS PEMBUNUH TIDAK KEJAM
           
Sampai sekarang tidak tahu, apakah pembunuh mutilasi di Serang-Banten sudah diketahui apa tidak. Demikian pula pembunuh mutilasi di Banjarmasin.

Korban mutilasi di Serang Banten, malah belum diketahui identitasnya. Yang hanya diketahui korban seorang wanita dan di perutnya terdapat tahi lalat. Pasalnya kepala korban belum ditemukan.

Sedangkan korban mutilasi di Banjarmasin, sudah diketahui identitasnya, bahkan mayat korban telah dimakamkan.

Mencari tahu siapa pembunuhnya, tentu harus diketahui terlebih dahulu identitas korban. Hal ini akan mempermudah penyelidikan. Siapa saja yang mengenal korban, dari sanalah penyelidikan dimulai. Dari sini akan diketahui motif pembunuhan itu. Sehingga penyelidikan kasus pembunuhan di Banjarmasin lebih mudah ketimbang kasus yang terjadi di Serang Banten.

Oleh karenanya, pihak kepolisian mengharapkan kepada warga sekitar untuk melaporkan bila ada anggota keluarga yang belum pulang atau hilang. Adanya tahi lalat di perut sudah mempermudah warga yang kehilangan anggota keluarganya.

Terlepas dari penyelidikan polisi ini, kita pasti merasa amat prihatin. Ternyata masih ada saja orang yang tega melakukan hal itu. Apakah pembunuh tidak memiliki hati? Bagaimana bila korban mutilasi itu adik si pembunuh atau anggota keluarganya yang lain?

Siapa pun akan merasa terpukul bila salah satu anggota keluarganya menjadi korban. Tidaklah heran bila pihak keluarga menuntut hukuman mati dijatuhkan pada si pembunuh.

Pembunuhan merupakan dosa besar. Dalam suatu ayat dijelaskan bahwa membunuh satu nyawa sama saja dengan membunuh semua manusia. Sama saja apakah dia pembunuh biasa atau mutilasi.

Pembunuhan merupakan perbuatan yang kejam dan menyakitkan hati seluruh anggota keluarga korban. Oleh karenanya hukuman mati bagi pembunuh merupakan sesuatu yang wajar dan tidak bisa dikatakan kejam. Bila hukuman mati diterapkan atas pembunuh, tentu ini akan menimbulkan efek jera.

Efek jera bagi orang lain. Orang tidak mudah ‘ringan tangan’ membunuh orang lain. Nyawa akan amat dihargai. Orang akan menghargai nyawa orang lain, karena dia menghargai nyawanya sendiri. Dia akan takut membunuh, karena dia takut akan dihukum mati.


Dua Kota (repost)


DUA KOTA


Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat  (Lirik lagu Yogyakarta, Kla Project)

Kota yang kutinggali
Kini tak ramah lagi
Orang orang yang lewat
Beri senyumpun enggan
Disini aku lahir
Disini aku besar
Disini aku merasa
Bodoh
Kota yang kudambakan
Tawarkan kekerasan
Nyeri merobek hati
Tak dapat aku hindari
(Lirik lagu Kota II, Iwan Fals)

Katon, Lilo dan Adi masih beruntung bertemu orang-orang yang bersahabat di Yogyakarta. Berjalan ke arah mana pun, mereka menemukan penduduk yang ramah. Tidak ada yang berubah, dari dulu hingga lagu ini tercipta, Yogya masih sama, ramah.

Berbeda dengan Iwan Fals. Kota yang dulu tempatnya bermukim, ramah adanya. Tapi bersama jalannya waktu kondisi itu berubah seratus delapan puluh derajat. Berpapasan tidak saling sapa, apalagi tersenyum. Entah kota apa yang dimaksud Iwan Fals.

Dua kondisi perkotaan yang saling bertolak belakang. Mengapa ada dua kondisi seperti itu? Apa yang membuat penduduk Yogya demikian ramahnya? Sementara Jakarta misalnya, bangga dengan identitas ‘elu-elu, gw-gw’.

Padahal mungkin kondisi masyarakatnya sama-sama susah. Hanya saja yang satu, saling bergotong royong dan tolong menolong. Sedangkan yang satunya tidak, berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri.

Pengungsi Merapi Saja Berkurban (repost)



PENGUNGSI MERAPI SAJA BERKURBAN

Kadang memang tidak dapat dicerna oleh akal. Karena memang standar penilaiannya bukan akal. Beberapa saat yang lalu, rakyat Gaza, Palestina mengirimkan bantuan untuk korban di Mentawai dan gunung Merapi.

Kini, para pengungsi di Merapi, ikut berkurban. Mengurbankan ternaknya di hari raya Idul Adha. Begitulah berita yang didengar di pagi hari, hari ini (18 Nopember 2010).

Kalau menengok sejarah, ada saja sih yang bersikap seperti penyumbang dari Gaza dan pengungsi di Merapi. Mungkin para pembaca pernah mendengar atau tertarik pada kisah seorang sahabat yang bersedia menjamu tamunya Rasulullah. Tamu itu dijamu, diberi makan, padahal persedian makanan tuan rumah terbatas. Terbatas untuk kepala keluarga, istri dan anaknya saja. Namun sahabat ini mengurbankan dirinya, demi menghormati tamu.

Karena sikapnya ini, Allah menurunkan ayat. Ayat yang memuji sikap sahabat Rasulullah yang mendahului orang lain, walaupun dirinya sendiri membutuhkan.

Sikap seperti ini amat dibutuhkan. Di saat sikap individualis, egois merajai masyarakat kita, sikap mau berbagi, dipandang sebagai sikap yang istimewa. Bukan hanya istimewa, tapi dibutuhkan.

Islam telah mengajarkan kita untuk memperhatikan nasib orang lain. Islam mendidik umatnya agar menjadi umat yang tidak individualis, egois. Bukankah Islam mengajarkan untuk memperhatikan kondisi tetangga? Apakah dia sudah makan atau belum?

Semoga kita dijauhkan dari sikap individualis dan egois. Semoga Allah memberikan kita, hati-hati yang mudah tersentuh untuk membantu orang lain. Aaamiiin

sumber image: http://www.nu.or.id

Apa Kabar Ustadz? (repost)


APA KABAR USTADZ?

Seorang bapak setengah tua memasuki warung. Dia berjaket hitam dan mengenakan kopiah putih. Pemilik warung bertanya, “Makan pak haji?”

Saya mempunyai seorang teman. Unik, begitu ungkapan untuknya. Semua teman-teman kantor, yang laki-laki dipanggil ustadz dan yang wanita dipanggil ustadzah. Semuanya dipanggil demikian. Gak peduli apakah diantara kita sering ceramah atau bahkan mungkin tidak pernah ceramah. Namun semuanya dipanggil demikian.

Bapak di atas belum tentu sudah naik haji. Tidak tahu juga, pemilik warung bermaksud meledek atau bukan. Tapi panggilan seperti itu bisa diartikan doa, bila bapak tua itu belum naik haji.

Demikian pula dengan yang dilakukan teman di atas. Semua orang dipanggil dengan panggilan ustadz atau ustadzah. Semua orang didoakan agar menjadi ustadz atau ustadzah.

Panggilan pak haji, ustadz atau ustadzah merupakan pilihan panggilan yang tidak buruk. Lebih baik dan bermakna ketimbang memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk.

Allah swt berfirman
Jangan pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Siapa saja yang yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim (QS al-Hujurat [49]: 11).

Sabab Nuzûl
Ahmad menuturkan riwayat dari Abu Jabirah bin adh-Dhahak yang berkata: Nabi saw. datang kepada kami. Ketika itu tidak ada seorang laki-laki pun di antara kami kecuali memiliki satu atau dua laqab (julukan). Ketika beliau memanggil dengan salah satu laqab-nya, kami berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia tidak suka dengan (panggilan) itu.” Lalu turunlah ayat ini. Riwayat senada juga disampaikan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Tirmidzi.

Allah Swt. berfirman: Walâ tanâbazû bi al-alqâb (Janganlah kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk). Al-Baghawi menyatakan, an-nabz dan al-laqab memiliki satu makna, yakni panggilan seseorang bukan dengan nama yang sebenarnya. Dengan kata lain, keduanya bermakna gelar atau julukan. Meski demikian, kata nabz khusus digunakan untuk gelar atau julukan yang buruk atau yang tidak disukai. Ayat ini melarang kaum Muslim saling memanggil dengan julukan yang buruk atau yang tidak disukai oleh orang yang dipanggil. Bahkan Imam al-Nawawi menyatakan bahwa para ulama sepakat tentang haramnya memanggil orang dengan panggilan yang tidak disukai, baik karena sifatnya, ayahnya, ibunya, atau yang lain.

Menurut sebagian ulama, laqab yang dilarang itu adalah yang tidak disukai atau merupakan celaan. Namun, jika laqab itu sudah menjadi nama person, seperti al-A’masy (yang kabur penglihatannya) atau al-A’raj (yang pincang), serta tidak menyakiti orang yang dipanggil, maka itu dibolehkan. Jika laqab itu mengandung pujian, benar, dan jujur maka tidak masalah. Rasulullah saw. juga menggelari Abu Bakar ra. dengan ash-shiddiq, Umar bin al-Khaththab dengan al-fâruq, Khalid bin al-Walid diberi gelar sayful-Llâh, Utsman bin Affan dengan dzû an-nûrayni (pemilik dua cahaya), dan sebagainya.

Selain panggilan, nama juga merupakan doa. Rasulullah bersabda, ““Sesungguhnya nama yang paling disukai Alloh adalah Abdullah dan Abdurrohman.” (HR. Muslim, Abu Dawud).”

Dengan memberi nama anak dengan nama Abdullah, semoga dengan nama itu anak kita menjadi Abdullah atau hamba Allah yang taat.


Kamis, 22 Februari 2018

Foto Menggambarkan Perjalanan Sejarah (repost)




FOTO MENGGAMBARKAN PERJALANAN SEJARAH

Sejak silaturrahmi tersambung melalui media FB, saya mulai membuka kembali lembaran-lembaran foto album, sewaktu di SD. Ternyata masih banyak foto-foto itu. Ada foto-foto sewaktu saya ikut pramuka dan ada pula foto-foto sewaktu acara perpisahan di gedung Panti Trisula.

Ada sekitar 13 lembar foto yang terpilih dan langsung saya upload ke dalam FB.

Keesokkan harinya, berbagai komentar dari teman-teman SD berdatangan.

“Waah ada foto ini. Barangkali yang ada di foto ini belum tentu punya.”

“Ada gw eui.”

“Derry. Orang lain sudah hormat atau bersiap untuk hormat, dia masih tenang-tenang aja.”

“Wah kalo si jambul itu nggak salah lagi. Arya.”

“Waah hebat Arya ketua regu yah?”

Itulah diantara komentar teman-teman.

Foto ternyata merupakan bukti sejarah, merupakan catatan sejarah yang tertuang dalam bentuk visual. Di fb saja, ada foto saya bersama teman-teman sekalas mulai dari kelas 4 hingga kelas 5. Sementara itu ada foto bersama semua kelas 6 (ada 3 kelas), tanpa kehadiran; Yulia Feirita, Icap, Hamid, Yantri dan Dedy.

Belum lagi di rumah. Saya masih punya foto bersama teman-teman sekelas mulai TK hingga kelas 3 SD.

Dari foto-foto itu, dapat diketahui bahwa saya pernah sekelas dengan si anu, si itu dan yang lainnya. Dari foto-foto itu juga dapat diketahui bahwa kami pernah ke Evergreen, Cisarua dan ke tempat lainnya bersama-sama.

Benar-benar bukti sejarah dalam bentuk visual.

Terkadang ... Takut Walau Benar (Repost)



TERKADANG..TAKUT WALAU BENAR

“Berani karena benar, takut karena salah”
           
Itulah yang biasa dinasehati orang tua dan para guru. “Tidak perlu takut, kalau benar. Kamu khan benar, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi.”

Nasehat di atas merupakan nasehat yang memperkuat tekad dan dukungan bagi siapa saja yang berada di pihak yang benar. Biasanya bila sudah mendapat nasehat seperti ini, tekad bulat akan muncul dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Orang akan merasa takut, kalau dirinya bersalah. Lihat saja para pengendara motor yang tidak mengenakan helm. Dia akan mengambil jalan yang aman, jalan yang tidak ‘ditongkrongi’ polesong alias plokis alias polisi.

Atau bila sudah terlanjur terlihat, si pengendara motor tidak berhelm itu akan melarikan motornya sekencang-kencangnya.

Itulah..takut karena salah

Tapi yang terjadi sekarang, terkadang sebaliknya berani walau salah. Coba saja lihat pemandangan di lalu lintas. Sudah tahu salah jalan, mengambil arah jalan yang berlawanan dengan kendaraan-kendaraan pada umumnya, ketika orang ini hampir tertabrak, malah dia yang marah.

Itulah..berani walau salah

Kadang muncul juga perasaan takut, khawatir walau diri ini benar. Di saat Islam terlihat asing, pada saat itulah mereka yang ingin menerapkan Islam akan merasa khawatir. Mereka khawatir di cap sebagai ini-lah itu-lah dan seterusnya. Takut dikatakan kelompok ini-lah, kelompok itulah. Padahal dalil yang melandasi perbuatan itu jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.

Di saat Islam difitnah, di saat itulah perasaan takut muncul, padahal diri ini benar.

Itulah yang terkadang terjadi..takut walau benar


Selasa, 20 Februari 2018

Masih Membutuhkan Omar Bakrie (rrepost)



MASIH MEMBUTUHKAN 'OMAR BAKRIE'

Omar Bakrie memang sosok khayali dalam lagu Iwan Fals. Membawa tas dari kulit buaya dan mengendarai sepeda kumbang. Walau gajinya hanya kecil, tapi loyalitasnya tetap tinggi. Meski murid-muridnya nakal, tapi dia tetap mengajar. Namun sesungguhnya itu adalah gambaran kondisi nyata yang ada di Indonesia.

Sikap tidak pernah menyerah, ikhlas dan penuh semangat pun membuahkan hasil. Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh pengukir sejarah merupakan buah tangan guru-guru seperti Omar Bakrie.

Banyak orang menjadi pandai, karena membaca. Jasa siapakah itu, kalau bukan jasa para guru? Mereka bisa membaca karena diajarkan oleh guru-guru. Dari mengeja per huruf, kata per kata, per kalimat hingga dapat tamat membaca satu buku.

Belum lagi ilmu-ilmu yang diperoleh dari berbagai buku berbahasa asing. Peran seorang guru tidak lah kecil. Penyematan gelar pahlawan tanpa tanda jasa sepertinya tepat.

Jasanya dikatakan tidak terbilang, inilah yang membuatnya menjadi pahlawan. Tapi tanpa tanda jasa sedikit pun. Jangankan tanda jasa, gaji saja kecil. Semakin menguatkan saja gelar pahlawan disematkan kepada para guru.

Menurut Data versi UNDP pada tahun 2000 saat ini, jumlah kemelekhurufan di Indonesia baru mencapai 65.5 %.  Artinya, lebih dari sepertiga penduduk dewasa di Indonesia buta huruf. Sekitar 77 % dari populasi buta huruf tersebut adalah orang dewasa berusia 45 tahun ke atas, sedangkan sisanya berusia antara 15 tahun dan 45 tahun.(Ragam dalam Suara Merdeka, senin 17 Juli, 2006).

Jumlah buta-huruf di Indonesia masih relatif tinggi, yaitu 9,7 juta orang, dan angka ini terlihat tidak berubah dari tahun ke tahun. (http://berdikarionline.com/kabar-rakyat/20100908/apa-kabar-program-pemberantasan-buta-huruf.html)

Tantangan dunia pendidikan tidak sampai di sana. Kita biasanya lebih sering menjadi konsumen tekhnologi dan bukan produsen tekhnologi. Setiap ada yang baru, langsung diserbu. Belum juga dikuasai produksi yang baru itu, datang lagi produksi tekhnologi yang terbaru. Kembali diserbu oleh masyarakat. Tekhnologi Computer dan HP contohnya.

Padahal kalau saja kita dapat menjadi produsen atau penemu tekhnologi baru, mungkin akan menjadi pendapatan baru bagi negara. Coba ada yang menemukan obat untuk penyakit AIDS, tentu banyak sekali negara yang akan memesannya. Akan banyak pihak yang bergantung kepada kita.

Sebenarnya orang-orang kita tidak bodoh. Banyak orang yang ‘melek’ tekhnologi. Cuma mungkin penghargaan terhadap mereka yang kurang.

Banyak orang yang ingin menjadi ‘Omar Bakrie”, tapi bagaimana nasib pendapatan untuk para guru, apakah masih sama dengan gaji di tahun 1981 (ketika lagu Omar Bakrie keluar)?

sumber image:youtube.com