Bapak tua itu kerap duduk di atas kursi ketika menunaikan shalat
berjama’ah. Posisi tempat duduknya selalu di bagian paling pinggir di
sisi kanan. Tepatnya di pintu masuk masjid Al-Muqarrabin. Hampir setiap
orang yang ingin menunaikan shalat berjama’ah, melewati pintu tersebut.
Artinya, bertemu muka dengan bapak tua itu.
Bapak tua itu
sering menjadi patokan, berkumandangnya adzan. Jika muadzin sudah ingin
mengumandangkan adzan, bapak tua itu peringatkan bahwa waktu shalat
belum masuk. Ketika waktu telah tiba, dia pun memberi isyarat dengan
tangannya dan berkata, “Ya, sudah masuk.” Muadzin pun mengumandangkan
adzan.
Bila bertemu dengan bapak tua itu di saat Maghrib,
maka usai shalat Maghrib, dia tidak langsung pulang. Dia menunggu waktu
Isya tiba.
Lain halnya, jika bertemu dengan bapak tua itu di saat Dzuhur, maka dia akan langsung pulang selepas menunaikan shalat Dzuhur.
Usai
menunaikan shalat, barulah orang-orang tahu kondisi bapak tua itu. Dia
selalu dibantu tongkat ketika berjalan. Tongkat itu menjadi kakinya yang
ketiga untuk menopang tubuhnya yang telah renta.
Sementara itu, salah seorang pengurus masjid sudah siap mengantarkan bapak tua itu pulang. Dia diantar dengan sepeda motor.
Itulah rutinitas bapak tua yang rajin menunaikan shalat berjama’ah di masjid Al-Muqarrabin.
Jika kebetulan saya shalat di masjid Al-Muqarrabin, pemandangan di ataslah yang kerap tertangkap.
Bapak
tua yang kira-kira usianya sudah berkepala tujuh itu kerap menunaikan
shalat berjama’ah. Walau kedua kakinya sudah tidak kuat lagi menopang
tubuhnya yang kurus, tapi dia tetap ingin menjadi salah satu makmum
langganan.
Waktu shalat sepertinya sudah hapal di luar kepala. Sehingga seringkali, terlihat telah hadir sebelum waktu shalat tiba.
Terima kasih bapak tua. Engkau telah mengajarkan kami sebuah pesan tersirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar