Badai
angin telah menerjang perahu di sebuah laut lepas dan akhirnya perahu itu
tenggelam. Sebagian penumpangnya selamat. Diantaranya seorang pria yang
dipermainkan ombak hingga dia terdampar di sebuah pulau antah berantah. Pria
itu mulai sadar dari pingsannya, hembusan nafas mulai terdengar. Dia bersimpuh,
memohon pertolongan pada Allah. Memohon agar Allah menyelamatkannya dari
kondisi ini.
Hari-hari
pun berlalu. Selama itu pula, pria tadi makan dari buah-buahan yang ada di
pulau tersebut. Dia juga makan daging kelinci hasil buruannya. Untuk kebutuhan
airnya, dia minum dari anak sungai yang ada di sana. Pria itu tidur dalam
sebuah pondok kecil yang dibangunnya dari batang-batang pohon. Walau kecil,
namun pondok itu cukup melindungi dirinya dari dinginnya malam dan teriknya
siang.
Pada
suatu hari, pria itu berkeliling di seputar pondoknya. Selama dalam waktu
berkeliling itu, makanan yang diletakkannya di perapian kayu bakar, telah matang.
Namun ketika dia kembali untuk melihat makanannya, semua yang ada di sekitar
makanan itu telah terbakar, termasuk pondoknya.
Pria
itu pun mulai berteriak, “Mengapa wahai Allah? Pondok saya telah terbakar.
Tidak ada satu pun milik saya yang tersisa di dunia ini. Saya adalah orang
terdampar di tempat ini. Sekarang, pondok tempat saya bernaung juga terbakar.
Mengapa ya Allah, semua musibah ini datang kepada saya?!!”
(dikutip
dari buku Hakadza Hadzamuu Al-Ya’sa karya Salwa Al-‘Adhidaan)
Bayangkan
pria yang terdampar itu adalah diri Anda. Anda terdampar di pulau tanpa
penghuni. Hidup Anda yang biasanya ramai dengan orang-orang sekitar, kini
mendadak tanpa seorang teman pun.
Makan
yang biasanya dengan berbagai macam, kini hanya ada buah-buahan dan sekali-kali
daging kelinci. Anda biasanya tinggal di rumah permanen, walau mungkin ber-tipe
RSS, tapi tentu lebih ‘normal’ dari rumah yang terbuat dari batang pohon saja.
Hidup
seperti di atas saja mungkin akan memancing kita untuk mengucapkan, “Na’udzu
billah min dzalik.”
Tapi
ternyata pria itu tidak diuji sampai di situ. Pondok buatannya terbakar karena
kekurang hati-hatiannya.
Bagaimana
bila itu terjadi pada diri Anda? Sudah susah payah hidup dengan keterbatasan.
Lalu rumah hasil karya Anda terbakar.
Mungkin
Anda akan mengatakan, “Saya paling sengsara di dunia.”
Tapi
kisah di atas tidak sampai di situ. Mari kita baca lanjutannya.
Pria
itu tertidur karena terlalu sedih. Dia tidur dalam keadaan lapar. Namun pada
pagi hari ada sesuatu yang mengejutkannya.
Ada
sebuah kapal merapat pulau dan ingin menyelamatkan pria tadi.
Ketika
sampai di atas kapal, pria itu bertanya kepada para penumpang kapal, “Bagaimana
kalian dapat menemukan tempat ini?”
Mereka
menjawab, “Kami melihat asap. Kami pun tahu bahwa di sana ada seseorang yang
membutuhkan pertolongan.”
Maha
Suci Allah Yang Maha Mengetahui kondisi pria itu dan mengetahui tempat itu.
Maha Suci Allah Yang Maha Mengatur segala urusan dan kita tidak mengetahui apa
maksudnya.
Ketika
pondokmu terbakar, ketahuilah bahwa Allah akan menyelamatkanmu. (dikutip dari
buku Hakadza Hadzamuu Al-Ya’sa karya Salwa Al-‘Adhidaan)
Ketika
kondisimu semakin terpuruk, semua jalan terasa buntu, merasa orang paling
sengsara di dunia, yakinlah jalan keluar akan segera datang Insya Allah.
Berprasangka baiklah pada Allah dan jangan sekali-kali putus asa dari rahmat
Allah.
Di
dalam Al-Quran Allah mengisyaratkan bahwa sesuatu yang dikira akhir, padahal
itu awal dari sesuatu yang baru.
Allah
berfirman, “Ketahuilah bahwa Allah MENGHIDUPKAN bumi setelah MATInya.”
(QS Al-Hadid (57):17)
sumber image: www.apasih.com
sumber image: www.apasih.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar