Laman

Kamis, 05 Juni 2014

Ini Bukan Akhir, Tapi Awal






Badai angin telah menerjang perahu di sebuah laut lepas dan akhirnya perahu itu tenggelam. Sebagian penumpangnya selamat. Diantaranya seorang pria yang dipermainkan ombak hingga dia terdampar di sebuah pulau antah berantah. Pria itu mulai sadar dari pingsannya, hembusan nafas mulai terdengar. Dia bersimpuh, memohon pertolongan pada Allah. Memohon agar Allah menyelamatkannya dari kondisi ini.

Hari-hari pun berlalu. Selama itu pula, pria tadi makan dari buah-buahan yang ada di pulau tersebut. Dia juga makan daging kelinci hasil buruannya. Untuk kebutuhan airnya, dia minum dari anak sungai yang ada di sana. Pria itu tidur dalam sebuah pondok kecil yang dibangunnya dari batang-batang pohon. Walau kecil, namun pondok itu cukup melindungi dirinya dari dinginnya malam dan teriknya siang.

Pada suatu hari, pria itu berkeliling di seputar pondoknya. Selama dalam waktu berkeliling itu, makanan yang diletakkannya di perapian kayu bakar, telah matang. Namun ketika dia kembali untuk melihat makanannya, semua yang ada di sekitar makanan itu telah terbakar, termasuk pondoknya.

Pria itu pun mulai berteriak, “Mengapa wahai Allah? Pondok saya telah terbakar. Tidak ada satu pun milik saya yang tersisa di dunia ini. Saya adalah orang terdampar di tempat ini. Sekarang, pondok tempat saya bernaung juga terbakar. Mengapa ya Allah, semua musibah ini datang kepada saya?!!”
(dikutip dari buku Hakadza Hadzamuu Al-Ya’sa karya Salwa Al-‘Adhidaan)

Bayangkan pria yang terdampar itu adalah diri Anda. Anda terdampar di pulau tanpa penghuni. Hidup Anda yang biasanya ramai dengan orang-orang sekitar, kini mendadak tanpa seorang teman pun.

Makan yang biasanya dengan berbagai macam, kini hanya ada buah-buahan dan sekali-kali daging kelinci. Anda biasanya tinggal di rumah permanen, walau mungkin ber-tipe RSS, tapi tentu lebih ‘normal’ dari rumah yang terbuat dari batang pohon saja.

Hidup seperti di atas saja mungkin akan memancing kita untuk mengucapkan, “Na’udzu billah min dzalik.”

Tapi ternyata pria itu tidak diuji sampai di situ. Pondok buatannya terbakar karena kekurang hati-hatiannya.

Bagaimana bila itu terjadi pada diri Anda? Sudah susah payah hidup dengan keterbatasan. Lalu rumah hasil karya Anda terbakar.

Mungkin Anda akan mengatakan, “Saya paling sengsara di dunia.”

Tapi kisah di atas tidak sampai di situ. Mari kita baca lanjutannya.


Pria itu tertidur karena terlalu sedih. Dia tidur dalam keadaan lapar. Namun pada pagi hari ada sesuatu yang mengejutkannya.

Ada sebuah kapal merapat pulau dan ingin menyelamatkan pria tadi.

Ketika sampai di atas kapal, pria itu bertanya kepada para penumpang kapal, “Bagaimana kalian dapat menemukan tempat ini?”

Mereka menjawab, “Kami melihat asap. Kami pun tahu bahwa di sana ada seseorang yang membutuhkan pertolongan.”      

Maha Suci Allah Yang Maha Mengetahui kondisi pria itu dan mengetahui tempat itu. Maha Suci Allah Yang Maha Mengatur segala urusan dan kita tidak mengetahui apa maksudnya.

Ketika pondokmu terbakar, ketahuilah bahwa Allah akan menyelamatkanmu. (dikutip dari buku Hakadza Hadzamuu Al-Ya’sa karya Salwa Al-‘Adhidaan)

Ketika kondisimu semakin terpuruk, semua jalan terasa buntu, merasa orang paling sengsara di dunia, yakinlah jalan keluar akan segera datang Insya Allah. Berprasangka baiklah pada Allah dan jangan sekali-kali putus asa dari rahmat Allah.

Di dalam Al-Quran Allah mengisyaratkan bahwa sesuatu yang dikira akhir, padahal itu awal dari sesuatu yang baru.

Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa Allah MENGHIDUPKAN  bumi setelah MATInya.” (QS Al-Hadid (57):17)

sumber image: www.apasih.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar