Ajang lomba adu kebolehan dan keahlian,
mewarnai layar kaca kita. Semua peserta bersaing untuk menjadi penyanyi yang
diidolakan di tanah air. Setiap mereka berebut untuk menempati posisi chef
terfavorit pilihan pemirsa. Mereka saling tak mau kalah untuk menjadi grup
lawak paling banyak mendapat dukungan SMS dari para penggemarnya.
Berusaha untuk menjadi yang terbaik, itu
merupakan suatu hal yang manusiawi. Ingin dikagumi, dipuji dan dibanggakan oleh
siapa pun, juga suatu yang manusiawi. Karena hal itu merupakan salah satu
naluri atau pembawaan manusia.
Jadi dikondisikan (seperti dalam ajang
lomba) atau tidak dikondisikan, setiap manusia ingin menjadi yang terbaik.
Benarkah itu? Apakah ada dalam diri teman-teman sekalian untuk menjadi yang
terbaik? Atau biasa-biasa saja?
Kalau memang biasa-biasa saja, tidak ada
keinginan untuk menjadi yang terbaik, itu perlu diwaspadai. Karena jika tidak
ada keinginan seperti itu, memperoleh kemajuan merupakan sesuatu yang hampir
mustahil.
Cobalah tengok pada teman-teman
sepermainan dulu. Lihatlah orang-orang sekitar. Pilihlah yang terbaik diantara
mereka. Jadikan yang terbaik menjadi pemicu. Insya Allah, hidup menjadi lebih
bersemangat.
Dulu sewaktu SLTP, pernah punya teman
yang bernama Yulia. Dia satu-satunya teman SD yang se-SLTP dengan saya. Dia
anak terpandai di kelas, hampir seluruh pelajaran dikuasainya. Kondisi ini
memicu diri untuk dapat bersaing dengannya. Alhamdulillah, akhirnya jika ada
guru yang bertanya ke murid-murid, saya atau dia yang tunjuk tangan.
Umar bin Khaththab adalah sosok sahabat
Rasulullah yang semangat dalam beribadah, melakukan amal shalih dan bersedekah.
Umar selalu ingin bersaing dengan Abu Bakar dalam kebaikan. Oleh karenanya dia
melakukan sesuatu yang terbaik. Umar menyedekahkan separuh harta miliknya. Akan
tetapi ternyata, Abu Bakar menyedekahkan seluruh hartanya, tanpa tersisa
sedikit pun.
Berbagai amal shalih Umar lakukan untuk
bersaing dengan Abu Bakar. Namun Umar tidak dapat menyamai Abu Bakar, hingga
dia berucap, “Saya tidak dapat menyaingi Abu Bakar.”
Jika tidak dapat ‘mengalahkan’, mungkin
kita dapat menyamai seseorang dalam kebaikan.
Pada suatu hari, Rasulullah saw bersama
para sahabat duduk di masjid. Tiba-tiba, Rasulullah bersabda, “Sebentar lagi,
ada seorang pria yang masuk ke dalam masjid ini dan dia adalah calon penghuni
surga.”
Tak lama kemudian, seorang pria masuk ke
dalam masjid. Keesokkan harinya, Rasulullah kembali berucap hal yang sama. Pria
yang masuk ke dalam masjid pada saat itu, sama dengan yang kemarin. Pada hari
ketiga, Rasulullah mengucapkan hal yang sama, dengan pria yang sama.
Hal ini menggelitik rasa ingin tahu
Abdullah bin Umar. Abdullah mengikuti pria itu hingga sampai di rumahnya.
Karena belum menemukan hal istimewa dari pria itu, maka Abdullah meminta izin
pada pria itu untuk menginap di rumahnya.
Abdullah bin Umar ingin tahu, amal apa
sebenarnya yang menyebabkan pria itu dikatakan Rasulullah sebagai calon
penghuni surga. Semua amal shalih pria itu diperhatikannya. Semuanya
biasa-biasa saja, termasuk amalan shalat sunnahnya.
Setelah tiga hari, Abdullah tidak
menemukan hal istimewa itu. Dia pun pamit pada pria tadi. Sebelum pamit,
Abdullah menceritakan sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa pria yang
dihadapannya itu adalah calon penghuni surga. Dia pun bertanya, “Apa yang
menyebabkan hal itu. Padahal saya perhatikan selama 3 hari ini, tidak ada amal
istimewa.”
Pria itu menjawab, “Saya selalu
berprasangka baik. Saya tidak berprasangka buruk pada tuan, ketika tuan minta
izin ingin menginap di rumah saya.”
Abdullah bin Umar mungkin tidak ingin
‘mengalahkan’ pria tadi. Dia hanya ingin menyamai, meniru kebaikan pria tadi.
Allah swt berfirman, "Bersegerahlah
mencapai ampunan dari Rabb kalian."
Bersaing yuk!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar