Laman

Minggu, 17 April 2016

Nilai Uang Receh

Namanya Sadino. Dia seorang tukang/loper koran. Kerjanya tiap hari mengantarkan koran ke para pelanggannya. Suatu profil yang biasa. Biasa karena banyak orang di Indonesia, bahkan di dunia juga memiliki profesi yang sama dengan pak Sadino.

Tapi ada satu hal yang membuat pak Sadino terlihat beda dan memiliki nilai lebih dibandingkan tukang/loper koran lainnya. Bahkan memiliki nilai lebih dibandingkan kaum muslimin lainnya.

Kenapa demikian? Karena hari ini, di tanggal 10 September 2014, pak Sadino akan menunaikan ibadah haji. Perjuangannya dalam mengumpulkan seperak dua perak untuk meraih impiannya itu terwujud, setelah berhasil mengumpulkannya selama 10 tahun. 10 persen dari penghasilannya sebagai loper koran, dia sisihkan setiap bulannya.

Ada juga kisah senada dari bu Temu. Nenek-nenek yang berprofesi sebagai tukang urut ini, juga akan menunaikan ibadah haji tahun ini. Biaya dikumpulkannya dari penghasilannya mengurut dan memijat. Yang lebih dahsyatnya, bu Temu tidak menentukan tarif tertentu. Dia menerima saja pembayaran dari pasiennya, berapa pun besarnya.

Tanpa niat dan tekad yang kuat, impian yang sederhana sekalipun, tidak akan terwujud. Tanpa niat dan tekad yang kuat, walaupun memiliki kemampuan, tetap saja impian yang sederhana tidak akan dapat terwujud.

Sementara itu, dengan niat dan tekad yang kuat, serumit apa pun suatu impian, insya Allah akan dapat terwujud. Walaupun memilki kemampuan yang terbatas, namun dengan niat dan tekad yang kuat, Insya Allah apa pun yang diimpikan akan terwujud.

Pelajaran berikutnya adalah betapa berharganya uang receh. Jika melihat penghasilan pak Sadino dan bu Temu perhari, mungkin kita menilainya tidak ada apa-apanya. Terlebih bila penghasilannya itu dibandingkan dengan harga-harga yang terus melambung tinggi.

Tapi disitulah kelebihan pak Sadino dan bu Temu. Mereka terlihat amat bersyukur, penghasilannya yang relatif kecil, benar-benar dianggap sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bisa membantu terwujudnya impian mereka. Jika mereka tidak menghargainya, tentu uang-uang receh tidak akan ‘dianggapnya’.

Mereka sadar, penghasilannya hanya segitu. Untuk mewujudkan suatu impian tidak bisa dicapai dengan waktu yang singkat. Jadi, mau tidak mau mereka harus menghargai penghasilannya yang segitu-gitunya.

Bicara tentang mewujudkan suatu impian yang besar akan terasa berat bila harus ditanggung sendiri.

Sebagai contoh adalah Masjid Alumni IPB Bogor. Masjid ini dibangun dengan duit kecil para alumni dan masyarakat. 7,5 M terkumpul. Kurang 1,2 M lagi.

1,2 M ini berat jika ditanggung sendiri. Tapi enteng jika ditanggung 100 orang, begitu penjelasan ustadz Yusuf Mansur. “Hanya” 12 jt per jamaah, sebagai sedekah ke masjid, lalu selesailah masjid ini.   

“12 jt pun tentunya ga gampang. Berat. Buat jamaah kebanyakan. Makanya dibagi lagi. Setiap orang di 100 orang tersebut, jadi simpul. Jadi agen. Jadi upline. Cari 100 lagi di bawahnya, sehingga angkanya menjadi ringan sekali. Per orang Rp. 120 rb, selesai nih masjid. Itu pun, bagi lagi jadi 12 bulan. Jadi sesungguhnya, sedekah 10 rb rupiah saja sebulan, per jamaah, udah selesai sempurna, tanpa hutang sama sekali ke toko-toko bangunan.”

Mewujudkan impian yang berat, akan terasa ringan bila dilakukan dengan konsep Patungan Usaha seperti di atas. Begitu yang dijelaskan oleh ustadz Yusuf Mansur, lihathttp://yusufmansur.com/duit-kecil/.

Pemikiran ustadz Yusuf Mansur ini semakin memperkuat pemahaman kita bahwa uang receh, uang kecil dan duit kecil tidak bisa dipandang sebelah mata.

Dengan niat dan tekad yang kuat, uang receh dapat membantu seseorang mewujudkan impiannya. Dengan berjama’ah, uang receh akan bernilai triliunan dan dapat mewujudkan impian besar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar