APA KABAR
USTADZ?
Seorang bapak setengah tua
memasuki warung. Dia berjaket hitam dan mengenakan kopiah putih. Pemilik warung
bertanya, “Makan pak haji?”
Saya mempunyai seorang teman.
Unik, begitu ungkapan untuknya. Semua teman-teman kantor, yang laki-laki
dipanggil ustadz dan yang wanita dipanggil ustadzah. Semuanya dipanggil
demikian. Gak peduli apakah diantara kita sering ceramah atau bahkan mungkin
tidak pernah ceramah. Namun semuanya dipanggil demikian.
Bapak di atas belum tentu sudah
naik haji. Tidak tahu juga, pemilik warung bermaksud meledek atau bukan. Tapi
panggilan seperti itu bisa diartikan doa, bila bapak tua itu belum naik haji.
Demikian pula dengan yang
dilakukan teman di atas. Semua orang dipanggil dengan panggilan ustadz atau
ustadzah. Semua orang didoakan agar menjadi ustadz atau ustadzah.
Panggilan pak haji, ustadz atau
ustadzah merupakan pilihan panggilan yang tidak buruk. Lebih baik dan bermakna
ketimbang memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk.
Allah swt berfirman
Jangan pula kalian saling
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman. Siapa saja yang yang tidak bertobat,
mereka itulah orang-orang yang zalim (QS al-Hujurat [49]: 11).
Sabab Nuzûl
Ahmad menuturkan riwayat dari Abu
Jabirah bin adh-Dhahak yang berkata: Nabi saw. datang kepada kami. Ketika itu
tidak ada seorang laki-laki pun di antara kami kecuali memiliki satu atau
dua laqab (julukan). Ketika beliau memanggil dengan salah
satu laqab-nya, kami berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia
tidak suka dengan (panggilan) itu.” Lalu turunlah ayat ini. Riwayat senada juga
disampaikan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Tirmidzi.
Allah Swt. berfirman: Walâ
tanâbazû bi al-alqâb (Janganlah kalian saling memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk). Al-Baghawi menyatakan, an-nabz dan al-laqab memiliki
satu makna, yakni panggilan seseorang bukan dengan nama yang sebenarnya. Dengan
kata lain, keduanya bermakna gelar atau julukan. Meski demikian, kata nabz khusus
digunakan untuk gelar atau julukan yang buruk atau yang tidak disukai. Ayat ini
melarang kaum Muslim saling memanggil dengan julukan yang buruk atau yang tidak
disukai oleh orang yang dipanggil. Bahkan Imam al-Nawawi menyatakan bahwa para
ulama sepakat tentang haramnya memanggil orang dengan panggilan yang tidak
disukai, baik karena sifatnya, ayahnya, ibunya, atau yang lain.
Menurut sebagian ulama, laqab yang
dilarang itu adalah yang tidak disukai atau merupakan celaan. Namun, jika laqab itu
sudah menjadi nama person, seperti al-A’masy (yang
kabur penglihatannya) atau al-A’raj (yang pincang), serta
tidak menyakiti orang yang dipanggil, maka itu dibolehkan. Jika laqab itu
mengandung pujian, benar, dan jujur maka tidak masalah. Rasulullah saw. juga
menggelari Abu Bakar ra. dengan ash-shiddiq, Umar bin
al-Khaththab dengan al-fâruq, Khalid bin al-Walid
diberi gelar sayful-Llâh, Utsman bin Affan dengan dzû
an-nûrayni (pemilik dua cahaya), dan sebagainya.
Selain panggilan, nama juga
merupakan doa. Rasulullah bersabda, ““Sesungguhnya nama yang paling disukai
Alloh adalah Abdullah dan Abdurrohman.” (HR. Muslim, Abu Dawud).”
Dengan memberi nama anak dengan
nama Abdullah, semoga dengan nama itu anak kita menjadi Abdullah atau hamba
Allah yang taat.